Sabtu, 07 Desember 2013

Membangun Konsep Diri Positif pada Anak

If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
(Dorothy Law Nolte)
konsep_diri_positif.jpg
T
ak hanya orang dewasa, anak-anak pun perlu memiliki konsep diri yang positif. Bisa dikatakan, konsep diri yang positif adalah modal utama bagi anak untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Sayangnya, tidak semua anak memiliki konsep diri yang positif. Seperti diungkapkan oleh Psikolog Anak dari KANCIL, Nurul Anissa M.Psi, konsep diri adalah pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya.
Anak yang memiliki konsep diri positif, dapat memandang, menilai dan memiliki persepsi yang positif mengenai dirinya. Konsep diri yang positif menurut Millie Ferrer dan Anne Fugate dalam karya ilmiahnya, “Helping Your School Age Child Develop a Healthy Self Concept”, formulasi dari perasaan nyaman terhadap diri sendiri, rasa diterima oleh lingkungan sekitar, dan rasa mampu melakukan sesuatu hal dengan baik. “Dia melihat dirinya sebagai orang yang dicintai dan berharga,” tambahnya.
 
Selain itu, anak yang memiliki konsep diri positif menurut psikolog, Yelia Dini Puspita, M.Psi, juga mampu menjadi dirinya sendiri, mampu memenuhi harapan-harapannya sendiri lebih daripada harapan orang lain terhadap dirinya. Anak dengan konsep diri positif juga lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman baru.
 
Konsep diri positif, menurut Yelia, penting untuk dimiliki anak karena mempengaruhi cara anak bertindak. Dengan konsep diri yang positif, anak memandang dirinya secara positif, sehingga ia lebih percaya diri dalam bertindak. Nurul menambahkan, dengan adanya pandangan dan penilaian yang positif tentang dirinya, anak akan cenderung untuk mengarahkan energi dan perilakunya kepada hal-hal yang juga positif. “Anak yang memiliki konsep diri positif akan tampil lebih percaya diri, berani menghadapi masalah dan memiliki toleransi yang baik terhadap kegagalan,” terang psikolog lulusan Universitas Indonesia ini lagi.
Lebih jauh Millie mengungkapkan, konsep diri yang positif memberi kesempatan yang lebih besar pada anak untuk mengembangkan potensinya secara optimal. “Ia dapat berprestasi lebih baik di sekolah. Ia juga dapat menetapkan tujuan dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Keinginannya untuk mencoba hal dan aktivitas baru juga lebih besar,” terang professor dari Departement of Family, Youth and Community University of Florida ini.
Sebaliknya, anak yang memiliki konsep diri negatif, tambah Yelia, akan menunjukkan karakteristik sikap dan tingkah laku rendah diri. Hal ini dapat mengganggu penyesuaian diri anak di lingkungan sosial. “Anak bisa menarik diri, sulit berbaur dengan lingkungan sosial, tidak mandiri, sampai dapat menimbulkan perasaan terasing,” katanya. Misalnya, seorang anak mengajak temannya bermain, tetapi temannya tidak mau. Anak yang memiliki konsep diri yang positif akan berpikir, “Tidak apa-apa... Aku bermain dengan yang lain saja.” Sementara anak yang mempunyai konsep diri negatif mungkin akan berpikir sebaliknya, “Dia tidak suka padaku.”
Konsep diri negatif, menurut Yelia, juga dapat mempengaruhi pencapaian prestasi akademis. Misalnya ketika anak mendapat nilai jelek, anak yang memiliki konsep diri positif, merasa terpacu untuk belajar lebih keras dan berusaha untuk mendapatkan nilai yang lebih baik pada ujian berikutnya. Berbeda dengan anak yang memiliki konsep diri negatif yang mudah putus asa, dan bahkan kemudian menganggap dirinya bodoh atau tak punya kemampuan untuk memperbaiki diri.
Pentingnya Peran Orangtua
Orangtua, lebih dari siapapun, mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan konsep diri positif pada anak. “Orang tua yang memiliki konsep diri positif akan menampilkan tingkah laku yang menunjukkan rasa percaya diri dan memiliki pandangan yang optimis. Konsep dan sikap tersebut tersebut juga "ditularkan" kepada anaknya, baik melalui proses meniru ataupun melalui evaluasi yang diberikan orangtua terhadap perilaku anak,” terang Yelia.
Sependapat dengan Yelia, Nurul mengatakan bahwa orangtua yang memiliki konsep diri positif, akan menerapkan pola asuh yang mendukung terbentuknya konsep diri yang positif pada anak. “Orangtua dengan konsep diri positif memahami dengan baik bahwa tindakan dan perilakunya akan menjadi contoh bagi anak. Sikap-sikap positif orangtua yang tampil dalam perilaku sehari-hari akan menumbuhkan pemikiran yang positif pula pada anak,” katanya menerangkan.

Orangtua dengan konsep diri positif menurut Nurul, akan menunjukkan ekspresi rasa sayang dengan sering memeluk atau memberikan pujian terhadap setiap usaha dan keberhasilan anak. Hal ini akan membuat anak merasa dirinya berharga dan menumbuhkan keyakinan pada diri anak akan kemampuan yang ia miliki. Misalnya memberikan pujian ketika anak berhasil memainkan piano dengan baik pada pentas sekolahnya. “Hal ini akan menumbuhkan pandangan pada diri anak bahwa dirinya berarti dan ia memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan,” Nurul menambahkan.
Demikian juga sebaliknya. Seperti diungkapkan Yelia, orangtua dengan konsep diri negatif menampilkan tingkah laku yang menunjukkan rasa rendah diri dan sikap pesimis. Sikap ini juga dapat ditiru oleh anak, atau secara tidak langsung memberikan pengaruhnya melalui evaluasi yang bersifat pesimis terhadap anak, yang akhirnya dapat membentuk konsep diri yang juga negatif pada anak.

Nurul mencontohkan, ketika anak mengalami kegagalan dalam suatu hal, misal dalam hal belajar, orangtua yang tidak memiliki konsep diri yang positif yang cenderung pesimis dalam memandang kehidupan, biasanya tidak memberikan dukungan yang semestinya. Orangtua seperti ini mungkin cenderung akan mengarahkan anak untuk menerima saja kegagalan tersebut tanpa berusaha memperbaiki.
 
“Tidak jarang pula orangtua yang tidak memiliki konsep diri positif melakukan tindakan yang kurang baik seperti memukul, mengabaikan, memarahi, menghina dan merendahkan kemampuan anak,” kata Nurul menambahkan. Padahal, lanjutnya, jika perilaku semacam ini terus berlangsung dalam keseharian anak, maka anak akan memiliki pandangan bahwa dirinya seperti apa yang seringkali diutarakan oleh orangtuanya.
 
Ini terjadi karena anak cenderung akan menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan ia dapatkan dari lingkungan. Misalnya, jika orangtua sering menyebut anaknya “bodoh” atau “nakal”, maka sebutan tersebut akan tercitra dalam dirinya sehingga anak akan merasa dirinya bodoh atau nakal. Pada akhirnya, anak tidak akan berusaha untuk belajar dengan baik apalagi mencapai prestasi, atau memperbaiki dirinya agar dapat diterima lingkungannya.

Oleh karena itu jika orang tua sudah 'terlanjur' memiliki konsep diri yang negatif, Yelia menyarankan, agar orangtua menyadari kondisi dirinya dan berusaha menciptakan atmosfer yang kondusif bagi perkembangan anaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan evaluasi dan penilaian yang bersifat positif terhadap anak. “Sebagai suatu proses, memang tidak mudah mengubah konsep diri yang sudah terbentuk. Namun tidak ada salahnya orangtua berusaha menggali berbagai potensi yang dimiliki, mengubah sikap pesimis menjadi optimis, serta bersikap lebih terbuka terhadap penilaian dari orang lain yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki diri,” kata Yelia menerangkan.

Tips Membangun Konsep Diri Positif pada Anak
Proses-proses psikologis dan interaksi dalam keluarga, merupakan hal penting dalam perkembangan konsep diri anak. Sayangnya, kebanyakan orangtua tidak menyadari bahwa perkataan dan sikapnya mempunyai dampak yang besar terhadap cara pandang anak terhadap dirinya. Simak tips berikut sebagai panduan untuk membentuk konsep diri yang positif pada diri anak.
* Sediakan waktu untuk anak. Salah satu bagian terpenting dari konsep diri yang positif adalah perasaan dicintai dan dihargai. “Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan bahwa Anda mencintai si kecil adalah dengan menghabiskan waktu bersamanya,” Millie menjelaskan. Anda bisa mengajaknya makan siang bersama, berjalan-jalan sore bersama Si Doggie, bermain bersama, menonton TV, atau kegiatan apa saja yang bisa dinikmati bersama. Selama bersama si kecil, hindari mengkritik dan menggurui anak apalagi membanding-bandingkannya dengan anak lain. Sebaliknya Anda dapat membicarakan hal-hal positif yang menjadi kelebihannya.
* Komunikasi yang terbuka. Komunikasi yang terbuka dengan anak adalah salah satu cara yang bisa Anda gunakan untuk menunjukkan bahwa anak dicintai dan dihargai. Berusahalah untuk selalu mendengarkan si kecil dengan seksama dan perhatian yang utuh dan sepenuh hati.
* Dukung potensi dan kemampuan anak. Anak perlu merasa dirinya mampu melakukan sesuatu. Untuk itu, berikan stimulasi yang dapat mengembangkan potensi anak secara optimal dalam berbagai aspek. Misalnya, dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk mencoba berbagai aktivitas dan pengalaman berbeda. Hindari memaksa anak melakukan apa yang Anda sukai, apalagi mengkritik kemampuan atau penampilannya.
* Tunjukkan ekspresi kasih sayang yang dibutuhkan oleh anak melalui pelukan, ciuman atau pujian. Hal ini akan membuat anak menghargai dirinya dan merasa dirinya layak untuk disayang.
* Menjaga keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Hindarilah pertengkaran orangtua atau orang dewasa di hadapan anak, ketika memiliki perbedaan pendapat. Anak perlu belajar bahwa setiap perbedaan pendapat harus dapat diselesaikan dengan cara yang baik, tanpa harus saling merendahkan salah satu pihak.
* Memperhatikan permasalahan yang dihadapi anak dan membantunya dengan memberikan dukungan dan bimbingan mengenai alternatif pemecahan masalah yang dapat diambil. Hal ini akan memberikan keyakinan kepada anak bahwa setiap permasalahan memiliki jalan keluar dan membuat anak belajar untuk tidak mudah menyerah.
* Pujilah anak. Biarkan si kecil mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan atau sesuatu yang dapat dibanggakan. Lakukan secara spesifik terhadap hal tertentu yang Anda anggap baik. Misalnya, daripada mengatakan, “Bagus,” lebih baik Anda mengatakan, “Semangat kamu menendang bola ke arah gawang benar-benar hebat. Mama senang melihat kamu berhasil melakukannya.” Jangan pula terpaku pada hasil, usaha anak, walaupun hasilnya kurang baik, pantas mendapatkan pujian dari Anda.
* Ajari anak bersosialisasi. Diterima oleh teman-teman sebayanya adalah hal penting dalam konsep diri anak. Oleh karena itu bekali kemampuan anak untuk bersosialisasi dengan membuka kesempatan bergaul bagi anak dengan melibatkannya dalam berbagai aktivitas atau permainan berkelompok, mengajari anak menyapa, berterima kasih, memperkenalkan diri, meminta maaf ketika salah, dan lain sebagainya. Akan lebih efektif jika Anda mengajari dengan menjadi contoh bagi anak.
* Libatkan si kecil dalam tugas rutin di rumah. Memang akan lebih mudah untuk melakukan sendiri atau menyerahkan pada pekerja rumah tangga tugas-tugas rutin di rumah daripada mempercayakannya kepada si kecil. Namun, menurut Millie, memberikan tugas rutin kepada anak, tak hanya dapat melatih kemampuannya tetapi juga dapat memberinya kesempatan untuk berkontribusi atau melakukan sesuatu bagi keluarga. Hanya saja, Anda harus memastikan bahwa tugas yang diberikan padanya, adalah tugas yang memang sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuannya.
Apakah Anda Melakukannya?
Jika ya, Anda harus menghentikannya, karena tanpa disadari hal-hal di bawah ini justru dapat membentuk konsep diri negatif pada anak.
  • Apakah Anda sering membantu anak atau membuat keputusan bagi anak? Kebiasaan ini akan membuat anak merasa tidak kompeten untuk melakukannya sendiri?
  • Apakah Anda sering memberikan kritik terhadap aktivitas anak ataupun pencapaian prestasi anak?
  • Apakah Anda terlalu membatasi aktivitas anak? Pembatasan yang berlebihan akan membuat anak merasa terkungkung dan tidak percaya diri dalam melakukan berbagai hal.
  • Apakah Anda sering menetapkan dan memaksakan standar-standar tertentu terhadap anak yang tidak sesuai dengan kemampuan anaknya, baik standar tingkah laku maupun standard prestasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar