Y
ang pertama kali harus dilakukan orang tua bukanlah mendorong anak untuk berani bicara, tetapi memahami ketidakberdayaannya.
Anti bingung menghadapi anaknya, Bagas (4). Di rumah, Bagas sangat pandai; mampu membaca dan berhitung sederhana, serta giat belajar bahasa Inggris. Ia juga tergolong aktif bersosialisasi dengan adiknya serta pengasuh disamping ayah-ibunya.
Semula, Anti mengira di taman bermain Bagas sama komunikatifnya dengan di rumah. Sampai kemudian ibu gurunya mengundang Anti untuk mempertanyakan perkembangan Bagas. Menurut ibu guru, Bagas tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun di sekolah. Ia tak pernah terlihat berbicara dengan teman-temannya. Bahkan saat melakukan aktivitas bersama pun, Bagas mengunci mulutnya. Ini telah berlangsung selama 3 bulan, sejak pertama kali masuk ke taman bermain.
Boleh jadi Bagas mengalami selective mutism (SM) atau ketidakmampuan berbicara dalam situasi sosial yang khusus atau yang tidak familiar. Misalnya di sekolah, dimana sebenarnya anak dituntut berbicara tapi ia malah diam seribu bahasa. Atau di sebuah pesta, ketika ada anak lain yang belum dikenalnya bergabung, ia bisa langsung berubah jadi tak mampu bicara.
Namun, jangan beranggapan bahwa aksi diamnya disebabkan ia belum fasih bicara dalam bahasa yang digunakan sehari-hari atau mengalami gangguan komunikasi seperti gagap. Malah, kata Dra. Mayke S. Tedjasaputra, M.Si, anak yang mengalami SM tidaklah selalu pendiam. Di rumah ia tetap mau bermain dan berbicara dengan kakak, adik, orang tua atau penghuni rumah lainnya. Jadi hanya pada lingkungan yang selektif, anak menjadi tidak mampu berbicara.
Selain itu, psikolog dari KANCIL ini menegaskan, anak SM juga bukannya tidak mau bicara. Sebetulnya ia ingin bicara, tapi kehilangan daya untuk melakukannya sehingga tidak ada kata-kata yang berhasil diucapkan. Contohnya, saat ditawari minum, ia tak mau menjawab dengan kata-kata. Jawabannya hanyalah berupa gerakan.
Anak yang mengalami SM umumnya juga tetap mau melakukan berbagai aktivitas pada lingkungan yang selektif tersebut. Bila ada temannya yang mengajak bermain, ia tetap memberikan respons tapi tanpa mengeluarkan kata-kata. Lalu, biasanya bila menginginkan sesuatu, ia hanya menyampaikan keinginannya lewat tindakan, gerakan, atau bahasa tubuh.
MUNCUL KARENA TRAUMA
SM biasanya terjadi pada:
* Anak-anak yang kurang mampu mengekspresikan perasaannya dan tidak spontan. Anak semacam ini umumnya lebih senang memendam perasaannya sendiri.
* Anak-anak yang kemampuan sosialisasinya tidak begitu baik serta kurang percaya diri.
Gejala SM biasanya baru terlihat setelah anak ikut kegiatan sekolah di taman bermain atau taman kanak-kanak. Bahkan bisa jadi pada awal masuk sekolah, gejala ini juga tak terlihat karena umumnya anak-anak yang baru sekolah memang masih malu-malu dan sedang berusaha menyesuaikan diri. Setelah 1 atau 2 bulan ke depan, pengajar di sekolah umumnya baru bisa mendeteksi.
LAKUKAN PENDEKATAN
Kabar gembiranya, SM tidak mempengaruhi perkembangan kemampuan membaca, menulis ataupun berhitung. Namun gangguan ini tentunya dapat mempengaruhi prestasi akademis anak di sekolah, terutama dalam hal berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas. Oleh karena itu SM harus diatasi.
SM sendiri memiliki tingkatan. Ada anak yang tidak mampu berbicara tapi masih mau mengeluarkan satu dua patah kata pada gurunya. Hanya saja, kalau disuruh membaca syair atau bernyanyi, ia sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara. Bahkan saat diminta berdoa juga tak terdengar suaranya. Yang terlihat hanya mulutnya yang berkomat-kamit. Tingkat berikutnya, ada anak yang sama sekali tidak mampu berbicara. Bahkan ada yang dibarengi dengan buang air besar atau buang air kecil di celana.
Langkah awal untuk mengatasi anak yang mengalami SM adalah dengan pendekatan agar rasa cemasnya berangsur menghilang. Yang perlu dipahami, saat mulai belajar mengatasi rasa cemasnya, ia seperti anak yang baru mulai belajar berbicara atau terbata-bata. Umumnya, ia mengeluarkan bunyi yang tidak jelas atau disebut monosilabel. Selanjutnya, setelah dirinya merasa lebih kuat, barulah mulai terdengar suaranya.
CONTOH-CONTOH PENYEBAB SM
1.Trauma saat belajar bicara
Misalnya, anak dilarang berbicara saat dia ingin bicara. Padahal anak usia 3-5 (usia prasekolah) sedang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Untuk memenuhinya ia jadi banyak bertanya dan berbicara. Atau, anak trauma karena dimarahi orang tuanya saat mengajukan banyak pertanyaan.
2. Munculnya rasa cemas yang tinggi
Peristiwa traumatis atau kisah-kisah menyeramkan yang didengar anak dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi dan menjadi pencetus munculnya SM. Misalnya, karena anak mendapat hukuman keras akibat melanggar aturan atau berbuat salah. Kecemasan bahwa ia akan melakukan kesalahan lagi membuatnya merasa tidak berdaya.
Ada satu kasus nyata yang dialami oleh orang tua yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Berhubung suami-istri tersebut harus sekolah, mereka menitipkan anaknya pada sebuah daycare selama sehari penuh. Akibatnya, anak merasa cemas karena berada di lingkungan yang asing dalam waktu lama. Belum lagi pengasuhnya ada yang berkulit putih dan hitam. Sementara bahasanya pun terdengar asing di telinganya. Berawal dari rasa cemas yang bertumpuk, sementara orang tua tidak menyadari masalah tersebut, akhirnya ia mengalami SM.
3. Kekecewaan yang mendalam
Banyak hal bisa menjadi sumber kekecewaan yang mendalam bagi anak. Misalnya, anak merasa tidak diperhatikan lagi oleh ibu saat adiknya lahir. Contoh lainnya, keluarga harus pindah ke lingkungan yang sangat asing bagi anak sementara orang tua tidak menyadari permasalahan yang dihadapi anaknya.
SELECTIVE MUTISM BISA DIATASI
Untuk mengatasi SM ada beberapa langkah yang dapat dicoba:
1. Hindari memberi nasihat terus-menerus dengan maksud mendorongnya untuk berbicara. Upaya ini tidak akan ada hasilnya. Bisa jadi ia malah berbohong bahwa ia mau berbicara dengan guru maupun teman-temannya di sekolah, padahal tidak.
2. Hindari memaksa anak SM membicarakan kekurangannya di sekolah. Hal itu dapat membuatnya bosan dan merasa tidak dipahami kesulitannya.
3. Sampaikan pula kepada gurunya untuk tidak memaksanya berbicara dan hindari menjadikan dirinya sebagai bahan diskusi dengan teman-teman sekelas.
4. Tunjukkan bahwa kita mengerti masalahnya dan bahwa anak SM tidak berdaya (paralysed) untuk berbicara. Pemaksaan akan memperburuk keadaan sebab ia sudah stres untuk bicara, dan akan bertambah stres.
5. Lakukan pendekatan pada anak SM sambil tidak banyak bicara. Lakukanlah aktivitas tertentu bersamanya. Misalnya, bermain pasir, menggambar, menyusun pasel, main musik, dan sebagainya. Pendekatan secara pribadi seperti itu bisa dilakukan sampai rasa cemasnya teratasi.
6. Bila dimungkinkan, ajaklah guru untuk berkunjung ke rumah dan melakukan aktivitas bersama anak tanpa menuntutnya untuk berbicara (jadi bisa saja guru seperti bicara sendiri karena anak tidak akan menjawab secara lisan).
7. Lakukan pula pendekatan pada orang tua teman si anak agar mengizinkan anaknya bermain di rumah kita. Selanjutnya secara bertahap, anak kita yang mengunjungi rumah temannya. (Tabloid Nakita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar