Si kecil mogok sekolah? Teliti dulu penyebabnya, jangan–jangan ia menjadi korban “ kenakalan” teman–temannya di sekolah.
SEPERTI yang dialami Royyan (4), suatu kali guru menegurnya karena ia tidak bisa menyelesaikan tugas meronce yang diberikan. Jadilah hari selasa minggu berikutnya, saat ada pelajaran meronce, ia tidak mau sekolah, karena takut kena “omel” gurunya lagi.
Anak–anak usia prasekolah memang belum menyadari “kekerasan” yang dialami anak prasekolah tidak harus berantem atau di pukul teman/guru/mbaknya, tapi bisa jadi sekedar di tegur gurunya Karena tidak mau melakukan/menyelesaikan sesuatu yang di tugaskan padanya, atau temannya merebut mainan dan membuatnya menangis.
Mungkin saja, untuk anak yang lebih besar/di usia SD, masalah seperti di tegur guru karena tak bisa mengerjakan satu tugas, sepele saja. Namun, tak demikian buat anak prasekolah, selain sedih dan kecewa, hal itu bisa membuatnya takut masuk sekolah.
KENALI GEJALANYA
Anak–anak prasekolah yang mengalami kekecewaan di sekolah akibat teguran atau berselisih dengan temannya biasanya memperlihatkan hal–hal berikut :
· Menunjukkan perubahan sikap.
Anak yang tadinya riang, mau bermain dengan teman–temannya, tiba–tiba menjadi pendiam, menarik diri, ogah–ogahan disuruh bermain atau mengerjakan sesuatu.
· Tidak mau sekolah/ke tempat tertentu.
Bila si kecil menolak ke sekolah dapat di jadikan indikator telah terjadi “sesuatu” di sekolah. Bisa juga, anak tidak mau keluar rumah atau ke tempat bermain seperti biasanya.
· Mengalami mimpi buruk
Dalam tidurnya anak terlihat gelisah seperti mendapat mimpi buruk. Memang, tidak selalu anak yang bermimpi buruk berarti sedang ada masalah. Anak–anak yang kecapekan setelah seharian bermain juga bisa mendapat mimpi buruk dalam tidurnya. Namun, setidaknya orangtua harus waspada kalau anak terlihat terus–menerus mendapat mimpi buruk.
· Sakit tanpa sebab
Orangtua juga harus curiga kalau anak mendadak kehilangan nafsu makan atau bahkan sakit tanpa sebab. Mungkin ia tidak bisa mengungkapkan secara verbal ketakutan/kegelisahannya yang berujung pada kehilangan nafsu makan dan akhirnya sakit.
CARI TAHU
Jangan biarkan “kekerasan” berlalu begitu saja tanpa penanganan, karena dampaknya tentu akan merugikannya. Apalagi kalau orangtua tidak peka, anak tidak mau sekolah langsung dapat omelan, “adek, jangan nakal deh. Mulai malas sekolah, ya. Mama marah nih.” Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ke sekolah takut, di rumah malah diomeli pula.
Sejatinya, bila terjadi perubahan pada diri anak, teliti lebih lanjut, antara lain dengan cara–cara di bawah ini:
· Ajak bicara dari hati ke hati.
Anak bisa dipancing dulu, apa yang membuatnya tidak mau sekolah/tidak mau keluar rumah/tidak mau makan. Di usia ini umumnya anak masih sangat polos, ia tidak akan berbohong pada orangtuanya. Sekiranya orangtua sudah menangkap sinyal anak “berantem” dengan temannya bisa di pancing dengan, “Waktu Mama TK, Mama pernah ditabrak sama teman Mama yang badannya besar. Mama sih tidak menangis, tapi langsung bilang sama Bu Guru, akhirnya anak itu di tegur bu guru.” Pancingan seperti itu umumnya akan mengena, anak merasa orangtuanya pernah punya masalah yang sama, sehingga muncul keberanian untuk menceritakan apa yang dialaminya.· Minta info lebih lanjut dari orang–orang di sekitar.
Kalau anak tidak mau mengatakan ada apa, tetapi ada indikasi kuat kalau sedang bermasalah, orangtua bisa menanyakan/kroscek pada orang–orang di sekitarnya, seperti si mbak atau teman main atau orangtua temannya. Intinya, gali informasi, tapi sebaiknya jangan heboh/membuat kepanikan. Selipkan dalam obrolan ringan, apa mereka tahu sesuatu yang membuat si prasekolah berubah sikap.
· Lakukan cek fisik
Orangtua bisa melakukan pengecekan fisik, tapi jangan mencolok, misalnya lakukan sambil memandikan/mengganti bajunya. Kalau ada luka, tanyakan dengan tenang, mengapa ada luka di tangan/kakinya. Namun, bila luka itu “mencurigakan” misalnya seperti memar habis di cubit/di pukul, orangtua harus menggali sampai menemukan jawaban yang benar.
PENYELESAIAN DAMAI
Setelah terungkap penyebabnya, apakah anak mendapat kekerasan dari teman/guru/mbaknya, atasi dengan kepala dingin dan langkah bijak demi kebaikan anak. Emosi atau marah–marah seringnya malah membuat si anak makin tertekan. Lebih baik :
· Lapor guru atau pihak berwenang.
Bila kekerasan itu dilakukan teman, laporkan pada guru kelasnya. Bila ternyata guru yang melakukannya bisa langsung mengatakannya pada guru yang bersangkutan, bisa juga dengan pihak yang lebih berwenang, seumpama kepala sekolah. Bila yang melakukannya si mbak, tegur baik – baik. Yang penting, jaga jangan sampai memperuncing masalah, gunakan bahasa yang sopan tetapi inti permasalahannya tersampaikan.
· Libatkan pihak ketiga.
Tak semua sependapat kalau orangtua langsung menegur orangtua anak yang telah melakukan kekerasan, karena dikhawatirkan malah menyebabkan salah paham. Lebih baik melibatkan pihak ketiga, yaitu guru atau pihak yang lebih berwenang seperti yang telah di sebutkan di atas. Bila penyebabnya guru menegur anak, upayakan membuka dialog. Bisa jadi guru yang bersangkutan tidak tahu sesuatu/kurang informasi, misalnya anak tidak bisa di tegur dengan keras. Sampaikan apa yang menjadi keberatan dengan santun dan cari solusi bersama secara bijak.
· Keputusan ”ekstrem” sebagai alternatif terakhir.
Keputusan yang berujung pada memecat si mbak atau memindahkan anak dari sekolah, boleh–boleh saja dilakukan kalau dampaknya memang sangat buruk bagi perkembangan anak. Contoh, bila terjadi luka fisik, bahkan menimbulkan trauma bagi si anak.
· Latih anak menghadapi kekerasan.
Selain penyelesaian yang dilakukan orangtua, anak juga harus dilatih untuk “melawan” kekerasan yang menimpa dirinya. Salah satunya dengan berani berkata “tidak”. Kalau ada yang memukul, ajarkan padanya untuk mengatakan, “kamu jangan memukul, itu tidak baik, nanti aku laporkan pada Bu Guru.” Kalau si mbak mencubit/memukul, ajarkan untuk mengatakan, ”Mbak jangan mencubit/memukul, kata Mama itu tidak boleh. Nanti Mama tahu, lo.” (Tabloid Nakita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar