Sabtu, 07 Desember 2013

Mamaku…Sahabatku…

Dari ibu, anak belajar tentang kelembutan, kesetiaan, ketertiban, dan kasih sayang. Itu semua syarat yang ada pada setiap sahabat, sehingga layaklah ibu di nobatkan sebagai sahabat terbaik bagi anaknya. 
DI MATA ANAK, sahabat adalah teman yang bisa diajak bermain, berinteraksi, dan berkomunikasi secara menyenangkan. Sosok yang pas untuk memenuhi criteria ini tak perlu di cari jauh–jauh oleh anak, karena sahabat yang paling baik baginya sebetulnya sudah hadir sejak ia di kandungan, yaitu ibunya sendiri.
Sejatinya, awal persahabatan sudah di bentuk ketika kedekatan mulai terjalin selama 9 bulan dalam kandungan, anak hidup bersama dan bernapas seiring detak jantung ibunya. Setelah lahir, melalui tetesan ASI, kedekatan itu semakin nyata. Proses ini akan membentuk attachment dan bonding antara ibu dan anak.
Selain itu, pada usia–usia awal juga terjadi pembentukan rasa trust atau percaya. Bila anak menangis dan ibu peka serta responsive terhadap tangisannya, maka ibu akan memenuhi kebutuhan anaknya, apakah dengan memberikan ASI atau menggantikan popoknya.
Ibu yang peka dan berusaha memahami serta mengerti kebutuhan anak akan membuat anak percaya pada orangtuanya bahwa dirinya dimengerti.
Intinya, ibu selalu hadir dalam keseharian anak dan mampu dijadikan tempat bergantung (rely on). Ibu bukan saja bisa diajak bermain tapi juga tempat untuk belajar banyak hal karena ibu  mempunyai  pemikiran dan wawasan yang jauh ke depan demi kebaikan buah hatinya. Dengan ibulah, anak belajar saling berbagi, memberi, menerima, dan memahami satu sama lain. 
 
Jika sejak dini telah terbentuk persahabatan antara ibu dan anak, banyak manfaat bisa dipetik. Kepada sahabatnya, yaitu ibu, anak dapat bersikap terbuka lantaran sudah terbiasa sejak kecil. Nantinya di usia remaja, ketika peran peer group sangat kuat dan orangtua biasanya kesulitan dalam memantau pergaulan anak, ibu tak akan terlalu risau sebab ibu tahu anak–anaknya akan bercerita dengan sendirinya mengenai dirinya bermain dengan siapa atau teman–temannya seperti apa. Jadi, ibu bisa mengetahui banyak hal mengenai anak dan lingkungan pertemanannya tanpa perlu repot–repot menelisik.
 
Ibu pun dengan mudah bisa meminta anak bersikap hati–hati dalam berteman, memberi saran dan nasihat tanpa di minta jika dilihat anaknya galau atau gelisah, dan sebagainya. Jikapun terjadi konflik/kesalahpahaman antara orangtua dan anak, terutam di usia–usia praremaja remaja ketika kondisi jiwa anak tengah labil, maka ibu dan anak akan cepat–cepat mencari solusinya tanpa meredam rasa marah, semisal dengan berdiskusi bersama.
Tentunya pada setiap tahapan usia anak mempunyai tantangan berbeda untuk mempertahankan hubungan yang hangat antara ibu dan anak. Seperti apa dan bagaimana caranya, yuk kita simak bersama dalam topik  kali ini. 
APA YANG HARUS IBU LAKUKAN ?
Menurut psikolog dari KANCIL, Adisti Soegoto, M.Psi, selain menjalin kedekatan sejak dini, ada beberapa hal yang penting dilakukan ibu agar bisa menjadi sahabat anak, yaitu : 
·        Selalu menjalin komunikasi.
Sejak di kandungan, anak  sudah bisa diajak berkomunikasi.
Sapalah janin setiap saat, “halo, adek sayang ini mama, temanmu nanti di kala suka dan duka. Wah, kita berdua nanti pasti akan menjadi teman yang hebat.” Ucapkan berulang dengan nada lembut. Meski janin belum merespons, jangan kecil hati karena benih–benih persahabatan sudah di mulai yaitu janin akan merasa lebih tenang, diterima, disayang, juga lebih dekat kepada ibunya.
Selanjutnya di masa kanak–kanak, ibu tetap membiasakan berkomunikasi dengan anak. Percayalah, anak bisa mengerti apa yang dikatakan oleh ibu. Kemudian, seiring perkembangan kemampuan bahasa/bicara anak, biasakan anak mengungkapkan keinginan, perasaan, dan pikirannya. Ajari anak bagaimana mengungkapkannya dengan cara yang baik, tidak harus dengan marah–marah, menangis, atau bicara seenaknya yang menyinggung perasaan. Ciptakan rasa nyaman anak dalam berkomunikasi dengan ibu. 
Bagi ibu bekerja, tetaplah menjalin komunikasi dengan anak dimanapun saat bekerja, sehingga anak tetap merasa diperhatikan dan tak merasa kehilangan ibu sehari penuh. Gunakan dan manfaatkan teknologi yang ada untuk tetap berinteraksi dengan anak. Beri tahu pula pada anak kapan waktu ibu di kantor yang bisa dihubungi untuk anak bisa bercerita pada ibunya.
·        Menjadi pendengar yang baik.
Hargai sikap terbuka anak. Ketika ia menyampaikan sesuatu, ibu mendengarkan dan memerhatikan dengan baik. Ini membuat anak merasa dihargai, dipedulikan, dan diperhatikan.
Secara tak langsung anak pun akan mencontoh sikap ibu ini, ketika ibu menjelaskan sesuatu atau bercerita pada anak, ia akan mendengarkannya dengan baik. Jika ada sesuatu yang ibu anggap kurang berkenan, anak bisa diberi tahu pula dengan baik–baik. 
·        Kenali dan pahami tahapan perkembangan anak.
Bila ibu mengetahui tahap perkembangan anak, ibu akan mengenali dan memahami anaknya dengan baik. Anakpun akan merasa dirinya dipahami dan dimengerti, sehingga dapat dihindari salah paham dan salah pengertian akibat ketidaktahuan ibu akan kebutuhan anak.
·        Bermain bersama anak.
Menjadi sahabat anak dapat dilakukan dengan cara yang fun dan menyenangkan, salah satunya lewat bermain. Ibu juga bisa memasukkan aturan–aturan, nilai, dan sebagainya lewat permainan.
Banyak hal yang akan dipelajari anak dari ibunya secara tak langsung lewat kegiatan bermain bersama tersebut. 
·        Sediakan waktu yang berkualitas.
Di zaman sekarang, ayah dan ibu cenderung bekerja di luar rumah, sehingga waktu yang dimiliki bersama anak sangat terbatas. Waktu yang ada itu akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjaga hubungan ibu dan anak.
Pulang kerja sehabis membersihkan diri, sediakan waktu untuk bersama anak. Jika ibu terlalu lelah, pilihlah kegiatan yang tak menguras energi semisal membacakan buku sambil santai di tempat tidur. Jika ibu memang sudah menjanjikan akan bermain bersama anak, usahakan selalu tepati, sehingga anak bisa percaya.
Jika hal–hal diatas selalu menjadi pegangan ibu dalam menjalani persahabatan dengan anaknya, niscaya kendala ataupun kerikil yang menghadang hubungan ibu dan anak selalu bisa diatasi. Karena sebagai sahabat, ibu telah menggenggam kunci hati anak, yaitu mau terbuka dan bisa dipercaya. (Tabloid Nakita)

Belajar Tidak Bergantung pada Bunda (Si kecil nempel terus ke Bunda? Ini kiat untuk membangun kemandiriannya.)

IRA sudah terkenal sebagai “anak bunda”. Ini terkait dengan perilaku bocah 2 tahun itu yang selalu menuntut kebutuhannya yang selalu harus dipenuhi oleh Anis, sang Bunda, tak mau orang lain, termasuk ayah dan pengasuhnya. Dari mandi, sarapan, buat susu sampai ngelonin tidur, ya harus bunda. Akhirnya demi menghindari kerewelan buah hatinya itu, meski harus pontang-panting kewalahan, Anis terpaksa memenuhi tuntutan tersebut. Bagaimana bila Anda harus menghadapi kasus yang sama dengan Anis?
TIDAK ATASI MASALAH
Perlu diketahui, solusi yang diambil Anis memiliki plus dan minus. Kelebihannya, dengan membiarkan anak bergantung terus pada ibu, si anak memang jadi tidak rewel. Sementara kekurangannya, cara ini tidak mengatasi masalah sampai akarnya.
Justru solusi seperti itu menyimpan berbagai dampak negatif. Lama-kelamaan si ibu (dalam hal ini Anis) akan mengalami kelelahan dan tidak bisa memiliki waktu beristirahat atau melakukan aktifitas yang lain. Kemungkinan lain, si ayah merasa terabaikan karena si batita tak mau melakukan aktifitas bersamanya.
Buat si batita (Ira) sendiri, selalu bergantung pada satu orang akan menutup kesempatannya untuk mengembangkan kepercayaan serta melebarkan sosialisasi kepada orang-orang lain di lingkungan sekitarnya. 
PRIBADI SULIT
Jadi apa yang harus dilakukan? Yang jelas perilaku ini perlu dikoreksi. Masalahnya terkadang para ibu tak menyadari kondisi ketergantunngan ini karena menganggap wajar bila si batita selalu membutuhkan ibunya.
Untuk membedakan dari keterikatan yang normal, mudah kok. Kalau si batita sudah sama sekali tidak mau dilayani orang lain, maunya sama ibu terus seperti kasus Ira tadi, nah, ini sudah dijadikan “alarm”.
Bila perilaku ketergantungan pada ibu ini dibiarkan terus menerus, selain membuat anak menjadi tidak percaya pada orang lain, ia juga terancam tumbuh menjadi pribadi yang sulit mengambil keputusan sendiri saat berada pada situasi tertentu.

APA PENYEBABNYA
Ketergantungan batita pada sosok ibu, bisa jadi lantaran ia menganggap bahwa ibulah satu-satunya yang mampu membentuk rasa aman dan nyaman dalam dirinya. Kondisi ini bisa terkait dengan kecilnya porsi keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan perawatan sewaktu anak masih bayi.
Mengapa ayah tidak terlibat dalam pengasuhan? Umumnya bukan karena ayah tidak mau, namun lebih disebabkan oleh kekhawatiran ayah akan “menyakiti” bayi karena bayi dianggap makhluk mungil yang rentan. Saat ayah coba menggendong bayi, ayah merasa cemas. 
Nah, kecemasan itu malah menular pada si bayi. Dari situ memori anak merekam bahwa sang ayah tidak mampu membuatnya merasa nyaman. Rasa kepercayaan pada ayah ini menyebabkan anak lebih senang melakukan berbagai aktifitas bersama ibu. 
TUMBUHKAN KEYAKINAN
Cara mengoreksi perilaku ketergantungan si batita pada ibu cukup sederhana, yakni dengan memberikan kesempatan pada sosok pengganti (ayah, misal) untuk berinteraksi dengan si buah hati. Tugas utama ibu adalah menumbuhkan keyakinan dalam diri si batita bahwa melakukan aktifitas dengan oranglain selain ibupun mengasyikkan. Berikut step by step menumbuhkan kepercayaan tersebut :
1. Perlihatkan rasa percaya
Ibu terlebih dulu harus memiliki kepercayaan bahwa orang lain (ayah) pun sanggup mengasuh si kecil dengan baik. Rasa percaya ini perlu dibangun demi mengusir kegelisahan yang bakal muncul. Perlu diketahui, sinyal kegelisahan ibu bisa ditangkap oleh anak sebab mereka memilki kepekaan yang tinggi terhadap perasaan orangtuanya.
2. Ciptakan interaksi untuk menumbuhkan keyakinan
Pada tahap ini, ibu membujuk si batita untuk mau mencoba berinteraksi dengan ayahnya. Misal dengan mengatakan, “Yuk, bikin susu sama Ayah. Susu bikinan Ayah juga lezat, lo.” Interaksi ini akan membuka peluang bagi ayah untuk membuktikan dirinya pun mampu melakukan hal-hal yang biasa  dilakukan oleh ibu. 
3. Mendampingi si batita saat proses adaptasi
Menumbuhkan kepercayaan membutuhkan sebuah proses. Jadi, tak perlu terburu-buru memaksa si batita  langsung percaya pada sosok pengganti karena ia tentunya  butuh waktu untuk beradaptasi.
Agar proses beradaptasi antar si kecil dan ayahnya itu lancar, ibu sebaiknya masih ada disekitar mereka kala mereka sedang beraktifitas bersama. Ketika ayah hendak membuatkan susu bagi si kecil, ibu berbenah di ruangan yang sama sambil bersuara sebagai pertanda ibu masih ada di dekat situ. “Bagaimana Ayah buat susunya, Dek? Lebih cepat dan lebih enak ya?” 
4. Secara perlahan tinggalkan si batita
Cobalah amati, bila si batita sudah tampak nyaman dengan ayahnya, perlahan menjauhlah dengan meminta izin terlebih dulu sehingga anak tidak merasa ditinggalkan begitu saja. Jangan lupa sampaikan terlebih penghargaan kepadanya. “Ibu mandi dulu ya. Ira minum susu ditemani Ayah. Kan Ira anak pintar. Nanti kita main lagi bertiga ya kalau ibu selesai mandi.”
5. Tingkatkan frekuensi
Bila si batita mulai bisa menerima si sosok yang diharapkan terlibat dalam pengasuhan, tingkatkan frekuensi aktifitas yang dilakukan bersama, niscaya rasa percaya anak kepada orang tersebut akan semakin tinggi. Lama-kelamaan si batita tak perlu bergantung lagi pada ibu. Ibupun tidak lagi kerepotan sendirian menghadapi si kecil!
Selamat mencoba…Smile (Tabloid Nakita)

Anak Tak Mau Bicara di Sekolah

Y
ang pertama kali harus dilakukan orang tua bukanlah mendorong anak untuk berani bicara, tetapi memahami ketidakberdayaannya.
Anti bingung menghadapi anaknya, Bagas (4). Di rumah, Bagas sangat pandai; mampu membaca dan berhitung sederhana, serta giat belajar bahasa Inggris. Ia juga tergolong aktif bersosialisasi dengan adiknya serta pengasuh disamping ayah-ibunya.
Semula, Anti mengira di taman bermain Bagas sama komunikatifnya dengan di rumah. Sampai kemudian ibu gurunya mengundang Anti untuk mempertanyakan perkembangan Bagas. Menurut ibu guru, Bagas tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun di sekolah. Ia tak pernah terlihat berbicara dengan teman-temannya. Bahkan saat melakukan aktivitas bersama pun, Bagas mengunci mulutnya. Ini telah berlangsung selama 3 bulan, sejak pertama kali masuk ke taman bermain.
Boleh jadi Bagas mengalami selective mutism (SM) atau ketidakmampuan berbicara dalam situasi sosial yang khusus atau yang tidak familiar. Misalnya di sekolah, dimana sebenarnya anak dituntut berbicara tapi ia malah diam seribu bahasa. Atau di sebuah pesta, ketika ada anak lain yang belum dikenalnya bergabung, ia bisa langsung berubah jadi tak mampu bicara.
Namun, jangan beranggapan bahwa aksi diamnya disebabkan ia belum fasih bicara dalam bahasa yang digunakan sehari-hari atau mengalami gangguan komunikasi seperti gagap. Malah, kata Dra. Mayke S. Tedjasaputra, M.Si, anak yang mengalami SM tidaklah selalu pendiam. Di rumah ia tetap mau bermain dan berbicara dengan kakak, adik, orang tua atau penghuni rumah lainnya. Jadi hanya pada lingkungan yang selektif, anak menjadi tidak mampu berbicara.
 
Selain itu, psikolog dari KANCIL ini menegaskan, anak SM juga bukannya tidak mau bicara. Sebetulnya ia ingin bicara, tapi kehilangan daya untuk melakukannya sehingga tidak ada kata-kata yang berhasil diucapkan. Contohnya, saat ditawari minum, ia tak mau menjawab dengan kata-kata. Jawabannya hanyalah berupa gerakan.
 
Anak yang mengalami SM umumnya juga tetap mau melakukan berbagai aktivitas pada lingkungan yang selektif tersebut. Bila ada temannya yang mengajak bermain, ia tetap memberikan respons tapi tanpa mengeluarkan kata-kata. Lalu, biasanya bila menginginkan sesuatu, ia hanya menyampaikan keinginannya lewat tindakan, gerakan, atau bahasa tubuh. 
MUNCUL KARENA TRAUMA
SM biasanya terjadi pada:
* Anak-anak yang kurang mampu mengekspresikan perasaannya dan tidak spontan. Anak semacam ini umumnya lebih senang memendam perasaannya sendiri.
* Anak-anak yang kemampuan sosialisasinya tidak begitu baik serta kurang percaya diri.
Gejala SM biasanya baru terlihat setelah anak ikut kegiatan sekolah di taman bermain atau taman kanak-kanak. Bahkan bisa jadi pada awal masuk sekolah, gejala ini juga tak terlihat karena umumnya anak-anak yang baru sekolah memang masih malu-malu dan sedang berusaha menyesuaikan diri. Setelah 1 atau 2 bulan ke depan, pengajar di sekolah umumnya baru bisa mendeteksi.
LAKUKAN PENDEKATAN
Kabar gembiranya, SM tidak mempengaruhi perkembangan kemampuan membaca, menulis ataupun berhitung. Namun gangguan ini tentunya dapat mempengaruhi prestasi akademis anak di sekolah, terutama dalam hal berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas. Oleh karena itu SM harus diatasi.
SM sendiri memiliki tingkatan. Ada anak yang tidak mampu berbicara tapi masih mau mengeluarkan satu dua patah kata pada gurunya. Hanya saja, kalau disuruh membaca syair atau bernyanyi, ia sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara. Bahkan saat diminta berdoa juga tak terdengar suaranya. Yang terlihat hanya mulutnya yang berkomat-kamit. Tingkat berikutnya, ada anak yang sama sekali tidak mampu berbicara. Bahkan ada yang dibarengi dengan buang air besar atau buang air kecil di celana.
Langkah awal untuk mengatasi anak yang mengalami SM adalah dengan pendekatan agar rasa cemasnya berangsur menghilang. Yang perlu dipahami, saat mulai belajar mengatasi rasa cemasnya, ia seperti anak yang baru mulai belajar berbicara atau terbata-bata. Umumnya, ia mengeluarkan bunyi yang tidak jelas atau disebut monosilabel. Selanjutnya, setelah dirinya merasa lebih kuat, barulah mulai terdengar suaranya.
CONTOH-CONTOH PENYEBAB SM
1.Trauma saat belajar bicara
Misalnya, anak dilarang berbicara saat dia ingin bicara. Padahal anak usia 3-5 (usia prasekolah) sedang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Untuk memenuhinya ia jadi banyak bertanya dan berbicara. Atau, anak trauma karena dimarahi orang tuanya saat mengajukan banyak pertanyaan.

2. Munculnya rasa cemas yang tinggi
Peristiwa traumatis atau kisah-kisah menyeramkan yang didengar anak dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi dan menjadi pencetus munculnya SM. Misalnya, karena anak mendapat hukuman keras akibat melanggar aturan atau berbuat salah. Kecemasan bahwa ia akan melakukan kesalahan lagi membuatnya merasa tidak berdaya.

Ada satu kasus nyata yang dialami oleh orang tua yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Berhubung suami-istri tersebut harus sekolah, mereka menitipkan anaknya pada sebuah daycare selama sehari penuh. Akibatnya, anak merasa cemas karena berada di lingkungan yang asing dalam waktu lama. Belum lagi pengasuhnya ada yang berkulit putih dan hitam. Sementara bahasanya pun terdengar asing di telinganya. Berawal dari rasa cemas yang bertumpuk, sementara orang tua tidak menyadari masalah tersebut, akhirnya ia mengalami SM.

3. Kekecewaan yang mendalam
Banyak hal bisa menjadi sumber kekecewaan yang mendalam bagi anak. Misalnya, anak merasa tidak diperhatikan lagi oleh ibu saat adiknya lahir. Contoh lainnya, keluarga harus pindah ke lingkungan yang sangat asing bagi anak sementara orang tua tidak menyadari permasalahan yang dihadapi anaknya.

SELECTIVE MUTISM BISA DIATASI
Untuk mengatasi SM ada beberapa langkah yang dapat dicoba:
1.     Hindari memberi nasihat terus-menerus dengan maksud mendorongnya untuk berbicara. Upaya ini tidak akan ada hasilnya. Bisa jadi ia malah berbohong bahwa ia mau berbicara dengan guru maupun teman-temannya di sekolah, padahal tidak.

2.     Hindari memaksa anak SM membicarakan kekurangannya di sekolah. Hal itu dapat membuatnya bosan dan merasa tidak dipahami kesulitannya.

3.     Sampaikan pula kepada gurunya untuk tidak memaksanya berbicara dan hindari menjadikan dirinya sebagai bahan diskusi dengan teman-teman sekelas.

4.     Tunjukkan bahwa kita mengerti masalahnya dan bahwa anak SM tidak berdaya (paralysed) untuk berbicara. Pemaksaan akan memperburuk keadaan sebab ia sudah stres untuk bicara, dan akan bertambah stres.

5.     Lakukan pendekatan pada anak SM sambil tidak banyak bicara. Lakukanlah aktivitas tertentu bersamanya. Misalnya, bermain pasir, menggambar, menyusun pasel, main musik, dan sebagainya. Pendekatan secara pribadi seperti itu bisa dilakukan sampai rasa cemasnya teratasi.

6.     Bila dimungkinkan, ajaklah guru untuk berkunjung ke rumah dan melakukan aktivitas bersama anak tanpa menuntutnya untuk berbicara (jadi bisa saja guru seperti bicara sendiri karena anak tidak akan menjawab secara lisan).

7.     Lakukan pula pendekatan pada orang tua teman si anak agar mengizinkan anaknya bermain di rumah kita. Selanjutnya secara bertahap, anak kita yang mengunjungi rumah temannya. (Tabloid Nakita)

"Enggak Mau Sekolah, Temanku Nakal"

Si kecil mogok sekolah? Teliti dulu penyebabnya, jangan–jangan ia menjadi korban “ kenakalan” teman–temannya di sekolah.
SEPERTI  yang dialami Royyan (4), suatu kali guru menegurnya karena ia tidak bisa menyelesaikan tugas meronce yang diberikan. Jadilah hari selasa minggu berikutnya, saat ada pelajaran meronce, ia tidak mau sekolah, karena takut kena “omel” gurunya lagi.
Anak–anak usia prasekolah memang belum menyadari “kekerasan” yang dialami anak prasekolah tidak harus berantem atau di pukul teman/guru/mbaknya, tapi bisa jadi sekedar di tegur gurunya Karena tidak mau melakukan/menyelesaikan sesuatu yang di tugaskan padanya, atau temannya merebut mainan dan membuatnya menangis. 
Mungkin saja, untuk anak yang lebih besar/di usia SD, masalah seperti di tegur guru karena tak bisa mengerjakan satu tugas, sepele saja. Namun, tak demikian buat anak prasekolah, selain sedih dan kecewa, hal itu bisa membuatnya takut masuk sekolah.
KENALI GEJALANYA
Anak–anak prasekolah yang mengalami kekecewaan di sekolah akibat teguran atau berselisih dengan temannya biasanya memperlihatkan hal–hal berikut :
·        Menunjukkan perubahan sikap.
Anak yang tadinya riang, mau bermain dengan teman–temannya, tiba–tiba menjadi pendiam, menarik diri, ogah–ogahan disuruh bermain atau mengerjakan sesuatu. 
·        Tidak mau sekolah/ke tempat tertentu.
Bila si kecil menolak ke sekolah dapat di jadikan indikator telah terjadi “sesuatu” di sekolah. Bisa juga, anak tidak mau keluar rumah atau ke tempat bermain seperti biasanya.
·        Mengalami mimpi buruk 
Dalam tidurnya anak terlihat gelisah seperti mendapat mimpi buruk. Memang, tidak selalu anak yang bermimpi buruk berarti sedang ada masalah. Anak–anak yang kecapekan setelah seharian bermain juga bisa mendapat mimpi buruk dalam tidurnya. Namun, setidaknya orangtua harus waspada kalau anak terlihat terus–menerus mendapat mimpi buruk.
·        Sakit tanpa sebab
Orangtua juga harus curiga kalau anak mendadak kehilangan nafsu makan atau bahkan sakit tanpa sebab. Mungkin ia tidak bisa mengungkapkan secara verbal ketakutan/kegelisahannya yang berujung pada kehilangan nafsu makan dan akhirnya sakit.
CARI TAHU
Jangan biarkan “kekerasan” berlalu begitu saja tanpa penanganan, karena dampaknya tentu akan merugikannya. Apalagi kalau orangtua tidak peka, anak tidak mau sekolah langsung dapat omelan, “adek, jangan nakal deh. Mulai malas sekolah, ya. Mama marah nih.” Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ke sekolah takut, di rumah malah diomeli pula.
Sejatinya, bila terjadi perubahan pada diri anak, teliti lebih lanjut, antara lain dengan cara–cara di bawah ini:
·        Ajak bicara dari hati ke hati.
Anak bisa dipancing dulu, apa yang membuatnya tidak mau sekolah/tidak mau keluar rumah/tidak mau makan. Di usia ini umumnya anak masih sangat polos, ia tidak akan berbohong pada orangtuanya. Sekiranya orangtua sudah menangkap sinyal anak “berantem” dengan temannya bisa di pancing dengan, “Waktu Mama TK, Mama pernah ditabrak sama teman Mama yang badannya besar. Mama sih tidak menangis, tapi langsung bilang sama Bu Guru, akhirnya anak itu di tegur bu guru.” Pancingan seperti itu umumnya akan mengena, anak merasa orangtuanya pernah punya masalah yang sama, sehingga muncul keberanian untuk menceritakan apa yang dialaminya. 
·        Minta info lebih lanjut dari orang–orang di sekitar.
Kalau anak tidak mau mengatakan ada apa, tetapi ada indikasi kuat kalau sedang bermasalah, orangtua bisa menanyakan/kroscek pada orang–orang di sekitarnya, seperti si mbak atau teman main atau orangtua temannya. Intinya, gali informasi, tapi sebaiknya jangan heboh/membuat kepanikan. Selipkan dalam obrolan ringan, apa mereka tahu sesuatu yang membuat si prasekolah berubah sikap. 
·        Lakukan cek fisik
Orangtua bisa melakukan pengecekan fisik, tapi jangan mencolok, misalnya lakukan sambil memandikan/mengganti bajunya. Kalau ada luka, tanyakan dengan tenang, mengapa ada luka di tangan/kakinya. Namun, bila luka itu “mencurigakan” misalnya seperti memar habis di cubit/di pukul, orangtua harus menggali sampai menemukan jawaban yang benar. 
PENYELESAIAN DAMAI
Setelah terungkap penyebabnya, apakah anak mendapat kekerasan dari teman/guru/mbaknya, atasi dengan kepala dingin dan langkah bijak demi kebaikan anak. Emosi atau marah–marah seringnya malah membuat si anak makin tertekan. Lebih baik :
·        Lapor guru atau pihak berwenang.
Bila kekerasan itu dilakukan teman, laporkan pada guru kelasnya. Bila ternyata guru yang melakukannya bisa langsung mengatakannya pada guru yang bersangkutan, bisa juga dengan pihak yang lebih berwenang, seumpama kepala sekolah. Bila yang melakukannya si mbak, tegur baik – baik. Yang penting, jaga jangan sampai memperuncing masalah, gunakan bahasa yang sopan tetapi inti permasalahannya tersampaikan.
·        Libatkan pihak ketiga. 
Tak semua sependapat kalau orangtua langsung menegur orangtua anak yang telah melakukan kekerasan, karena dikhawatirkan malah menyebabkan salah paham. Lebih baik melibatkan pihak ketiga, yaitu guru atau pihak yang lebih berwenang seperti yang telah di sebutkan di atas. Bila penyebabnya guru menegur anak, upayakan membuka dialog. Bisa jadi guru yang bersangkutan tidak tahu sesuatu/kurang informasi, misalnya anak tidak bisa di tegur dengan keras. Sampaikan apa yang menjadi keberatan dengan santun dan cari solusi bersama secara bijak.
·        Keputusan ”ekstrem” sebagai alternatif terakhir. 
Keputusan yang berujung pada memecat si mbak atau memindahkan anak dari sekolah, boleh–boleh saja dilakukan kalau dampaknya memang sangat buruk bagi perkembangan anak. Contoh, bila terjadi luka fisik, bahkan menimbulkan trauma bagi si anak.
·        Latih anak menghadapi kekerasan
Selain penyelesaian yang dilakukan orangtua, anak juga harus dilatih untuk “melawan” kekerasan yang menimpa dirinya. Salah satunya dengan berani berkata “tidak”. Kalau ada yang memukul, ajarkan padanya untuk mengatakan, “kamu jangan memukul, itu tidak baik, nanti aku laporkan pada Bu Guru.” Kalau si mbak mencubit/memukul, ajarkan untuk mengatakan, ”Mbak jangan mencubit/memukul, kata Mama itu tidak boleh. Nanti Mama tahu, lo.” (Tabloid Nakita)

Tips Agar Anak Tidak Menjadi Korban Bullying di Sekolah

D
ari berbagai sumber yang saya kumpulkan, semua sepakat mengartikan bullying sebagai suatu tindakan yang mengganggu orang lain, bisa secara fisik, verbal, atau emosional.Bullying sering kali terlihat sebagai perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik ataupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih ”lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih ”kuat”.
Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok, misalnya kelompok murid di sekolah. Bisa saja bentuknya adalah tindakan memukul, mendorong, mengejek, mengancam, memalak uang, melecehkan, menjuluki, meneror, memfitnah, menyebarkan desas-desus, mendiskriminasi, dan lain sebagainya. Kini, bullying tidak hanya dapat dilakukan secara tatap muka, tetapi bisa lewat e-mail, chatting, internet yang berisi pesan-pesan yang menyinggung perasaan orang lain.

 
Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, suatu perilaku mengancam, menindas, dan membuat perasaan orang lain tidak nyaman. Tindakan ini dilakukan dalam jangka waktu sekali, berkali-kali, bahkan sering atau menjadi sebuah kebiasaan. Berarti, sebenarnya bullying adalah tindakan kekerasan yang tidak hanya terbatas terjadi di antara para murid di sekolah, siapa pun dan di mana pun dapat mengalami tindakan ini.
 


Dampak bagi korban
Korban biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam, tetapi tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan tidak berharga. Bahkan, tak jarang ada yang ingin keluar dan pindah ke sekolah lain. Apabila mereka masih bertahan di situ, mereka biasanya terganggu konsentrasi dan prestasi belajarnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah. Dampak psikologis yang lebih berat adalah kemungkinan untuk timbulnya masalah pada korban, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, dan ingin bunuh diri. 

Penanganan
Paling ideal adalah apabila ada kebijakan dan tindakan terintegrasi yang melibatkan seluruh komponen mulai dari guru, murid, kepala sekolah, sampai orangtua, yang bertujuan untuk menghentikan perilaku bullying dan menjamin rasa aman bagi korban. Program anti-bullying di sekolah dilakukan antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan dan pemberian sanksi secara tepat kepada pelaku, atau melakukan kampanye melalui berbagai cara. Memasukkan materi bullying ke dalam pembelajaran akan berdampak positif bagi pengembangan pribadi para murid. 

Pemberdayaan individual bagi anak
- Beri kesempatan agar anak mau mengomunikasikan secara terbuka kepada orangtua, guru, atau orang dewasa lain yang mereka percaya dapat membantu mereka. Pupuk kedekatan hubungan, hargai perasaannya jika sedang curhat, tidak menyelamatkannya dari emosi negatif, tetapi berdayakan dia. Mengalami kondisi sulit akan membentuk daya tahan baginya.

- Katakan kepada anak bahwa tidak ada satu pun cara yang paling tepat untuk menghadapi bullying, satu cara yang terlihat benar bagi seseorang mungkin tidak sesuai untuk yang lain. Yang penting adalah bahwa anak sudah mencoba, mengetahui berbagai pilihan cara, dan dapat memutuskan siapa yang dapat membantunya sejauh ini. Saran untuk mengabaikan tindakan pelaku bisa saja diberikan, tetapi tidak selalu berhasil. Perlu dilakukan strategi lainnya.

- Latih anak untuk berani bicara, dengan kata lain bertindak asertif. Biarkan pelaku tahu bahwa anak tidak nyaman dengan perlakuannya, tetapi dengan kata-kata yang tidak balik menyakiti dan tidak membiarkan tindakan bullying terus berlangsung. Anak sebagai korban memiliki hak untuk membela diri, dan ada cara cerdas untuk melakukannya. Pastikan anak berbicara dengan cara yang memecahkan masalah dan tidak menciptakan lebih banyak masalah dengan orang lain. 

Patti Criswell (2009) dalam bukunya, Stand up for Yourself and Your Friends, memberikan beberapa tips agar anak sebagai korban terlihat kuat dan dapat bertahan menghadapi pelaku:

1. Bertindak percaya diri: tegakkan kepala dan bahu, tataplah mata pelaku tanpa bermaksud menantang dan jaga suara agar tetap stabil saat berbicara. Bertindak percaya diri akan membantu anak merasa lebih percaya diri.

2. Beristirahat: jika rasa percaya diri anak memudar, minta anak menjauh dari situasi tersebut.

3. Usahakan tetap tenang: anak dilatih untuk mencoba berekspresi terganggu atau bosan. Jangan biarkan si pelaku tahu dia berhasil mengganggunya.

4. Mendinginkan diri: dengan minum atau memercikkan air di wajah untuk membantu menenangkan perasaan panas.

5. Bernapas dalam-dalam. Menarik napas untuk memasukkan rasa percaya diri dan kekuatan, dan mengeluarkan perasaan stres dan khawatir.

6. Lepaskan saja: berpikir tentang orang dewasa di sekolah yang dapat mendengarkan dan membantu jika anak mengalami hari yang berat. Jika tidak ada, tuliskan perasaan sehingga anak dapat membicarakannya ketika sampai di rumah.

7. Latih anak agar tidak mencoba untuk membalas dendam, karena dua kesalahan tidak membuat menjadi benar. Tidak meminta orang lain untuk berpihak, karena hanya akan terus melanjutkan pertengkaran. Tidak tinggal di rumah untuk menghindari si pengganggu di sekolah. Jangan bertindak histeris-hindari berteriak, merengek, dan kehilangan kontrol. (Kompas.com)