Sabtu, 07 Desember 2013

5 Faktor Penyebab Batita Gampang Menangis

A
nak yang gampang menangis cenderung mengungkapkan keinginan dengan disertai tangisan. Secara umum tangisan masih menjadi salah satu bentuk komunikasi, terutama bayi di bawah tiga tahun atau batita, karena terbatasnya kemampuan verbal. Hal ini perlahan-lahan harus dihilangkan.
 
Anak tidak masuk kategori cengeng kalau kerewelan itu hanya ditunjukkan pada kondisi tertentu saja. Seperti sedang sakit, kelelahan, keatakutan, bertemu dengan orang baru atau ditinggal orangtua.
 
Ike R Sugiyanto, Psi menjelaskan banyak faktor yang menyebabkan anak gampang menangis. Di antaranya:
1.  Emosi ibu tak stabil saat hamil.
Kalau mau dirunut ke belakang, salah satu penyebab anak gampang menangis adalah kondisi psikologis ibu kurang mendukung saat hamil, seperti sedang banyak masalah, sehingga emosinya tidak stabil. Kondisi ini bisa "menular" pada janin dan bila tidak terselesaikan, bukan tidak mungkin terus terbawa hingga batita.
2.  Anak cenderung lebih sensitif.
Selain itu, ada anak-anak yang memang lebih sensitif. Perasaannya halus, sehingga apa saja gampang memancing tangisannya. Ada orang bersuara keras, ia menangis, karena merasa dirinya sedang dimarahi.
3.  Orangtua tidak konsisten.
Kalau diperhatikan, ada juga anak yang selalu menangis saat melakukan kesalahan sehingga orangtua merasa kasihan atau mengurungkan niat untuk menegur atau menghukumnya. Meski masih batita, anak sudah bisa melihat celah, menggunakan tangisnya sebagai upaya terhindar dari hukuman atau teguran.
4.  Pola asuh.
Pola asuh orangtua juga ikut berperan. Anak yang serba dilarang akan tumbuh menjadi pribadi penakut atau pencemas. Ia selalu tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. Akibatnya ia mudah menangis bila menghadapi situasi yang membuatnya takut atau khawatir.
5.  Anak dimanja.
Anak yang serba boleh atau dimanja berlebihan juga berpotensi menjadi anak cengeng. Ia akan menggunakan tangisan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Apalagi kalau anak ini sudah bisa "menandai" orangtua akan memberikan apa saja kalau ia menangis di muka umum. Menangis menjadi pilihan caranya manakala menginginkan sesuatu.
Jika anak memiliki kecenderungan gampang menangis seperti ini, Anda masih bisa memperbaiki perilakunya. Orangtua perlu tekun memberikan penjelasan dan menstimulasi anak untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya. Komunikasi yang baik perlu dibangun agar anak belajar mengungkapkan kebutuhannya, bukan dengan menangis tanpa sebab.
Selain itu, jangan memberi label "cengeng" pada anak yang gampang menangis seperti ini. Pelabelan "cengeng" ini jika terjadi terus menerus, membuat anak yakin bahwa dirinya memang cengeng. Jadi sah saja baginya untuk terus menangis meski tak ada penyebab berarti.

Ahli Merengek ( Kemampuan bahasa tak berkembang bila sedikit-sedikit ia merengek!)

T
ak sedikit bunda yang mengeluhkan anak balitanya ‘hobi’ merengek. “Anak perempuan saya hampir selalu merengek. Diganti bajunya, merengek. Saat ingin sesuatu, merengek lagi. Telinga saya sakiiittt……mendengarnya!” curhat Nina, seorang ibu dengan balita usia 2 tahun.
 
Rengekan anak usia 1-2 tahun kerap muncul seiring dengan perasaan kecewa atau frustasi terhadap dirinya sendiri. Rengekan juga bisa datang karena anak sedang mencari perhatian. Dengan kata lain, merengek menjadi salah satu cara anak untuk mengekspresikan apa yang dirasakan dan diinginkan. Apalagi anak usia 1-2 tahun belum mampu berkomunikasi verbal dengan baik.
 
Memilih diam atau tak peduli pada rengekan anak justru membuat anak berpikir bahwa merengek adalah pilihan baik. Akhirnya, ia menjadikannya sebagai kebiasaan. Padahal, merengek dipercaya membuat perkembangan bahasa anak tidak berkembang, lantaran tidak melatih anak mengungkapkan masalah secara verbal. Maka, kendalikan rengekan si kecil dengan : 
1.     Tatap matanya, dan dengarkan
Gunakan posisi sejajar tinggi tubuh anak, lalu tatap matanya. Dengan cara ini akan terjalin emosi yang tarik-menarik antara Anda dengannya. Kontak mata adalah pengganti sinyal bahwa Anda merespon atau mendengar apa yang anak sampaikan.
Tanyakan apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Gunakan nada bicara yang lembut dan hindari memotong jawaban si kecil. Tak perlu buru-buru mendapatkan jawaban, sebab anak  usia 1-2 tahun masih bingung mengungkapkan isi kepalanya. Perbendaharaan katanya kurang dari 200 –ia perlu bantuan Anda untuk mengungkapkan apa yang ia mau.
2.     Beri contoh meminta
Anak Anda belum paham bagaimana cara meminta yang baik pada orang lain, sehingga ia meminta dengan merengek. Apalagi bila Anda memang selalu memenuhi keinginannya ketika ia merengek! Segera beri ia contoh bagaimana cara meminta sesuatu secara tepat.
Minta anak meniru cara Anda, misalnya “Yuk ikuti Bunda. Kalau kamu mau minta susu, katakan. ‘Bunda aku mau susu’. Ayo sekarang ikuti Bunda!” Perlihatkan pada anak bahwa saat merengek ia menghasilkan raut wajah dan suara yang jelek. Dengan begitu, anak belajar kalau merengek itu terdengar tak menyenangkan.
3.     Kenalkan Perasaan
Pediatrik dan penulis buku perkembangan anak dari AS, T. Barry Brazelton berpendapat, kehidupan anak usia 1-2 tahun penuh dengan perasaan ambivalen. Ketika belajar berjalan, misalnya, bagi anak itu tak semudah yang ia kira. Baru saja meluruskan kaki, ternyata kakinya belum bisa menopang tubuh. Kekesalan pada kakinya pun ditumpahkan dengan merengek.
Anda perlu membantu anak belajar mengenal perasaan. Saat melihat ia kesal karena tidak kunjung bisa berjalan, katakan “Kamu kesal karena tidak bisa berjalan ke meja ya, Nak? Mau Bunda Bantu?” Tunjukkan bahwa ia tidak sendiri. Ada orang lain yang siap membantunya, sehingga tidak perlu merengek.
4.     Siapkan strategi mengatasi bosan
Bosan kerap dialami anak yang sudah puas dengan sesuatu yang ada di depannya, atau menunggu sesuatu tanpa melakukan apapun. Bila ia lantas merengek, segera ajak ia melakukan aktivitas lain.
Ajak ia menciptakan kegiatan sendiri, misalnya bernyanyi, menari, atau main tebak-tebakan. Kegiatan itu mampu mengalihkan rasa bosan. Atau, jika ia bosan pada buku di hadapannya, ciptakan bagaimana membuat acara membaca jadi menyenangkan dengan mendongeng atau tebak suara hewan dan tokoh di buku.
5.     Pelukan Menenangkan
Bila berbagai cara sudah dilakukan, namun anak tetap merengek, coba ini: Pelukan Anda mampu mengurangi emosi negatif si kecil, seperti bosan, lelah, frustasi atau mencari perhatian. Pelukan adalah ungkapan cinta tanpa kata yang sangat mudah dipahami dan dirasakan.
Sebaiknya, meski sudah diungkapkan dalam bahasa nonverbal, gunakan juga bahasa verbal agar anak lebih paham, misalnya, “Kamu kesal tidak bisa memindahkan bola ini ya? Sini Bunda peluk agar tidak kesal lagi.” Si kecil akan belajar, untuk mendapatkan kenyamanan ia tidak harus merengek, tapi bisa memeluk Anda. Tentu ajarkan pula, tak semua orang boleh dipeluk.
6.     Hindari Toleransi
Memenuhi kebutuhan anak setiap ia merengek adalah pilihan kurang tepat.
Begitu juga dengan ketidakkonsistenan yang Anda ciptakan, seperti hari ini Anda memenuhi rengekannya, besoknya tidak. Anak akan bingung sebenarnya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tegas katakan “Maaf, nak. Bunda tidak mengerti apa yang kamu inginkan kalau kamu merengek seperti itu.”
7.     Beri Pujian
Begitu anak berhasil mengungkapkan keinginannya dengan lebih jelas beri ia pujian.

Hargai usahanya dengan mengatakan “Wah, anak Bunda pintar sekali sudah tidak merengek lagi! Suara kamu terdengar lebih merdu kalau tidak merengek.” Pujian membuat anak termotivasi meneruskan perilaku baiknya.

Kelompok Bermain, Bantu Anak Mengasah Ketrampilan Sosial

BEBERAPA anak sedang bersepeda bersama di taman. Mereka tampak gembira, saling bercanda diiringi tawa. Dina memperhatikan suasana itu dari tempatnya berdiri. Ada keinginan untuk bergabung dan bermain bersama, tapi bocah berusia empat tahun itu tampak malu. Melihat itu, sang ibu yang berada di sampingnya berkata, "Ayo, sana main sama teman-teman kamu." Tapi Dina langsung menggelengkan kepalanya.
Apakah Anda pernah berada dalam situasi serupa dan bertanya-tanya bagaimana caranya agar balita Anda bisa bermain bersama teman sebayanya?
 
Menurut Yelia Dini Puspita, M.Psi.,  hubungan pertemanan pada masa kanak-kanak akan menjadi dasar bagi interaksi sosial pada tahap-tahap usia selanjutnya. Jadi, sedini mungkin anak dapat diarahkan untuk bersosialisasi, seperti bermain dengan teman sebaya. Kelompok sebaya ini disebut juga kelompok bermain, dimana anak-anak berkumpul untuk bermain bersama.
 
Wanita kelahiran 7 Juli 1977 ini menuturkan bahwa kelompok bermain biasanya akan terbentuk dengan sendirinya. Beberapa faktor yang dapat menentukan terbentuknya kelompok bermain lain, kesamaan lingkungan tempat tinggal, kesamaan aktivitas, dan kesamaan minat.
Nah, orangtua hendaknya peka terhadap kondisi dan kebutuhan anak. Perlu dipahami bahwa setiap anak berbeda-beda karakternya. Ada anak yang supel dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Ada pula yang sulit masuk ke dalam suatu lingkungan, misalnya anak yang pemalu.
"Hindari memaksa anak untuk bergabung dengan teman-temannya, apalagi memarahinya. Justru, bersikap empati terhadap anak akan lebih membantu. Orang tua dapat mengatakan pada anak 'Kakak belum siap ya untuk main sama-sama, kalau begitu kita duduk di sini dulu yuk sambil melihat teman-teman. Nanti kalau sudah siap kakak bisa bergabung.' Atau jika orang-orang yang dihadapi belum dikenal oleh anak, orangtua dapat mengajaknya berkenalan sambil memberi contoh, misalnya dengan mengatakan 'Kakak belum kenal ya dengan teman-teman? kita kenalan dulu yuk'. Yang penting, terus berikan motivasi pada anak tanpa memaksanya," jelas ibu dari Naeema Amrita Andjani (3).

Yelia mengungkapkan banyak sekali manfaat yang bisa dipetik jika anak bermain bersama teman-temannya. "Dengan bermain bersama, anak dilatih untuk mengembangkan berbagai aspek dalam diri, terutama keterampilan sosialnya, seperti kemampuan berbagi, bergantian, empati, kemampuan kerjasama dengan teman, bahkan dapat mengasah kemampuan kepemimpinan," ungkapnya.
Lalu lanjutnya, "Anak juga akan belajar menghadapi serta mengatasi kondisi emosi yang sulit, seperti rasa marah yang timbul ketika terjadi konflik dengan teman, ataupun rasa sedih dan kecewa ketika teman tidak mau bermain dengannya," ulas Yelia.
Anda pernah melihat anak Anda bermain masak-masakan bersama teman-temannya? Anda takjub bukan dengan daya imajinasinya? Si kecil Anda bisa berperan sebagai koki yang pintar memasak aneka masakan. Ya, dengan bermain bersama, anak dilatih mengembangkan kemampuan kognitifnya, melalui permainan bermain peran misalnya (masak-masakan, sekolah-sekolahan, dokter-dokteran, tamu-tamuan, dan lain-lain), anak dilatih mengembangkan imajinasinya.
Tak hanya itu, kemampuan motorik anak juga dapat lebih berkembang dengan bermain bersama, misalnya melalui permainan petak jongkok, kejar-kejaran, atau bermain sepeda.
Peran orangtua sangat penting agar anak terlibat dalam kelompok bermain yang tepat dan sesuai. Selain memberikan kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi, orangtua juga perlu mengawasi aktivitas anak.
"Ada baiknya orangtua mengenal teman-teman anak serta berbagai aktivitas yang mereka lakukan, sehingga dapat mengetahui dan mengontrol aktivitas anaknya," saran Yelia.
Walau begitu, jangan pula terlalu membatasi anak. Bagaimana pun orangtua tidak dapat menciptakan lingkungan yang "steril" bagi anak. Anak mungkin saja mendapatkan pengaruh yang buruk dari teman, misalnya tiba-tiba saja Anda terperanjat kala mendengar buah hati Anda mengucapkan kata-kata kasar setelah ia bermain dengan teman-temannya.
Daripada sekedar melarang anaknya bermain atau terlalu memilih-milih dalam berteman, akan lebih bijak jika orang tua mengembangkan nilai-nilai moral yang kuat di rumah.

Character Building for Kids

Orangtua mana yang tidak ingin memiliki anak-anak yang sehat dan cerdas? Selain itu, sebenarnya masih ada satu lagi impian para orangtua : agar anaknya berkarakter positif.
S
ebelumnya, mari kita pahami dulu, apa itu karakter. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, karakter adalah kepribadian yang dievaluasi secara normatif, bisa positif maupun negatif. Contoh karakter positif antara lain : baik hati, murah hati, suka menolong, dan sebagainya. Sedangkan karakter buruk misalnya : suka mencuri, hobi berbohong, suka memukul, dan lain-lain. Karakter atau watak inilah yang berpontensi besar memengaruhi pola pikir, perasaan dan tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
“Karakter juga yang menentukan bentuk kontribusi seseorang kepada dirinya sendiri, keluarga, lingkungan, bangsa dan negaranya,” tambah Kak Seto yang juga seorang psikolog. Dengan membangun karakter anak, berarti kita menyelamatkan masa depan mereka. Anak yang baik tentunya akan lebih disukai di lingkungannya, bukan? Mereka nantinya akan memiliki masa depan yang lebih cerah karena kemampuan sosialnya tinggi dan karakternya baik dan memikat.
Berikut beberapa tips dari Kak Seto tentang bagaimana cara membangun karakter anak yang baik :
School of Love
Tak pelak lagi, dari keluargalah semuanya dimulai. Karena itu, sangat penting bagi para orangtua untuk membangun komunikasi efektif dengan anak-anaknya. Komunikasi berperan sebagai salah satu mata rantai penting akan pola pengasuhan dan pembentukan karakter anak. Terlebih lagi, Sekolah Cinta ini tidak pernah selesai sampai kapanpun. Bagaimanapun, keluarga akan selalu ada di hati kita semua.
Pendidikan Sekolah
Sudah saatnya mengakhiri pembelajaran yang bersifat otoriter dan memasung kreativitas anak. Pendidikan moral dan karakter bukan sekedar pelajaran kognitif semata, melainkan pengembangan aspek afektif dan psikomotorik anak. Biarkan mereka bebas berkreasi di bidang yang disukai. Jika si A menyukai seni, jangan paksa ia mengambil bidang eksakta misalnya. Jangan pula cepat menghakimi anak dengan kata-kata ‘bodoh’. Biarkan mereka berkembang sesuai kemampuan otaknya.
Memberi Contoh
Karena anak-anak suka meniru, tak ada salahnya memberi mereka role model yang pantas dicontoh. Jika mereka suka film kartun misalnya, arahkan untuk memilih tokoh kartun yang berkarakter baik, jangan sebaliknya. Jelaskan juga sifat-sifat terpuji sang tokoh yang sebaiknya ditiru oleh si kecil.
Kecerdasan Emosional
Seringkali orang lebih mengutamakan kecerdasan pikir atau IQ. Padahal itu bukan satu-satunya jaminan keberhasilan. Sekarang ini yang lebih diutamakan justru kecerdasan emosi atau EQ yang bisa dikembangkan pada anak-anak sejak dini. Ciptakan suasana kekeluargaan yang hangat, sehingga anak-anak merasakan keakraban yang penuh kasih. Dengan begitu mereka akan menjadi pribadi yang hangat, ramah, jujur, bertenggang rasa, rajin dan suka menolong.
Educational Network Itu Penting!
Pentingnya memiliki karakter positif bagi anak, membuat orangtua merasa perlu untuk menanamkan dan membangunnya sedini mungkin dalam diri anak-anaknya. Untuk itu perlu adanya educational network antara orangtua, guru, masyarakat luas, serta para pakar pendidikan lainnya yang akan merealisasikan terwujudnya sebuah pendidikan karakter lewat psoses pola hubungan asah, asih, dan asuh yang terpadu.
Selain itu, perlu diingat bahwa proses membangun karakter untuk anak sangat panjang prosesnya, bisa jadi tak berkesudahan. Yang paling penting, banyak-banyak sabar mengahdapi tingkah laku anak bila mereka kehilangan mood. Jangan lantas emosi terpancing dan keluar kata-kata kasar. Karena bila demikian, pelajaran membentuk karakter mereka akan kembali dimulai dari nol.

Membangun Konsep Diri Positif pada Anak

If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
(Dorothy Law Nolte)
konsep_diri_positif.jpg
T
ak hanya orang dewasa, anak-anak pun perlu memiliki konsep diri yang positif. Bisa dikatakan, konsep diri yang positif adalah modal utama bagi anak untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Sayangnya, tidak semua anak memiliki konsep diri yang positif. Seperti diungkapkan oleh Psikolog Anak dari KANCIL, Nurul Anissa M.Psi, konsep diri adalah pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya.
Anak yang memiliki konsep diri positif, dapat memandang, menilai dan memiliki persepsi yang positif mengenai dirinya. Konsep diri yang positif menurut Millie Ferrer dan Anne Fugate dalam karya ilmiahnya, “Helping Your School Age Child Develop a Healthy Self Concept”, formulasi dari perasaan nyaman terhadap diri sendiri, rasa diterima oleh lingkungan sekitar, dan rasa mampu melakukan sesuatu hal dengan baik. “Dia melihat dirinya sebagai orang yang dicintai dan berharga,” tambahnya.
 
Selain itu, anak yang memiliki konsep diri positif menurut psikolog, Yelia Dini Puspita, M.Psi, juga mampu menjadi dirinya sendiri, mampu memenuhi harapan-harapannya sendiri lebih daripada harapan orang lain terhadap dirinya. Anak dengan konsep diri positif juga lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman baru.
 
Konsep diri positif, menurut Yelia, penting untuk dimiliki anak karena mempengaruhi cara anak bertindak. Dengan konsep diri yang positif, anak memandang dirinya secara positif, sehingga ia lebih percaya diri dalam bertindak. Nurul menambahkan, dengan adanya pandangan dan penilaian yang positif tentang dirinya, anak akan cenderung untuk mengarahkan energi dan perilakunya kepada hal-hal yang juga positif. “Anak yang memiliki konsep diri positif akan tampil lebih percaya diri, berani menghadapi masalah dan memiliki toleransi yang baik terhadap kegagalan,” terang psikolog lulusan Universitas Indonesia ini lagi.
Lebih jauh Millie mengungkapkan, konsep diri yang positif memberi kesempatan yang lebih besar pada anak untuk mengembangkan potensinya secara optimal. “Ia dapat berprestasi lebih baik di sekolah. Ia juga dapat menetapkan tujuan dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Keinginannya untuk mencoba hal dan aktivitas baru juga lebih besar,” terang professor dari Departement of Family, Youth and Community University of Florida ini.
Sebaliknya, anak yang memiliki konsep diri negatif, tambah Yelia, akan menunjukkan karakteristik sikap dan tingkah laku rendah diri. Hal ini dapat mengganggu penyesuaian diri anak di lingkungan sosial. “Anak bisa menarik diri, sulit berbaur dengan lingkungan sosial, tidak mandiri, sampai dapat menimbulkan perasaan terasing,” katanya. Misalnya, seorang anak mengajak temannya bermain, tetapi temannya tidak mau. Anak yang memiliki konsep diri yang positif akan berpikir, “Tidak apa-apa... Aku bermain dengan yang lain saja.” Sementara anak yang mempunyai konsep diri negatif mungkin akan berpikir sebaliknya, “Dia tidak suka padaku.”
Konsep diri negatif, menurut Yelia, juga dapat mempengaruhi pencapaian prestasi akademis. Misalnya ketika anak mendapat nilai jelek, anak yang memiliki konsep diri positif, merasa terpacu untuk belajar lebih keras dan berusaha untuk mendapatkan nilai yang lebih baik pada ujian berikutnya. Berbeda dengan anak yang memiliki konsep diri negatif yang mudah putus asa, dan bahkan kemudian menganggap dirinya bodoh atau tak punya kemampuan untuk memperbaiki diri.
Pentingnya Peran Orangtua
Orangtua, lebih dari siapapun, mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan konsep diri positif pada anak. “Orang tua yang memiliki konsep diri positif akan menampilkan tingkah laku yang menunjukkan rasa percaya diri dan memiliki pandangan yang optimis. Konsep dan sikap tersebut tersebut juga "ditularkan" kepada anaknya, baik melalui proses meniru ataupun melalui evaluasi yang diberikan orangtua terhadap perilaku anak,” terang Yelia.
Sependapat dengan Yelia, Nurul mengatakan bahwa orangtua yang memiliki konsep diri positif, akan menerapkan pola asuh yang mendukung terbentuknya konsep diri yang positif pada anak. “Orangtua dengan konsep diri positif memahami dengan baik bahwa tindakan dan perilakunya akan menjadi contoh bagi anak. Sikap-sikap positif orangtua yang tampil dalam perilaku sehari-hari akan menumbuhkan pemikiran yang positif pula pada anak,” katanya menerangkan.

Orangtua dengan konsep diri positif menurut Nurul, akan menunjukkan ekspresi rasa sayang dengan sering memeluk atau memberikan pujian terhadap setiap usaha dan keberhasilan anak. Hal ini akan membuat anak merasa dirinya berharga dan menumbuhkan keyakinan pada diri anak akan kemampuan yang ia miliki. Misalnya memberikan pujian ketika anak berhasil memainkan piano dengan baik pada pentas sekolahnya. “Hal ini akan menumbuhkan pandangan pada diri anak bahwa dirinya berarti dan ia memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan,” Nurul menambahkan.
Demikian juga sebaliknya. Seperti diungkapkan Yelia, orangtua dengan konsep diri negatif menampilkan tingkah laku yang menunjukkan rasa rendah diri dan sikap pesimis. Sikap ini juga dapat ditiru oleh anak, atau secara tidak langsung memberikan pengaruhnya melalui evaluasi yang bersifat pesimis terhadap anak, yang akhirnya dapat membentuk konsep diri yang juga negatif pada anak.

Nurul mencontohkan, ketika anak mengalami kegagalan dalam suatu hal, misal dalam hal belajar, orangtua yang tidak memiliki konsep diri yang positif yang cenderung pesimis dalam memandang kehidupan, biasanya tidak memberikan dukungan yang semestinya. Orangtua seperti ini mungkin cenderung akan mengarahkan anak untuk menerima saja kegagalan tersebut tanpa berusaha memperbaiki.
 
“Tidak jarang pula orangtua yang tidak memiliki konsep diri positif melakukan tindakan yang kurang baik seperti memukul, mengabaikan, memarahi, menghina dan merendahkan kemampuan anak,” kata Nurul menambahkan. Padahal, lanjutnya, jika perilaku semacam ini terus berlangsung dalam keseharian anak, maka anak akan memiliki pandangan bahwa dirinya seperti apa yang seringkali diutarakan oleh orangtuanya.
 
Ini terjadi karena anak cenderung akan menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan ia dapatkan dari lingkungan. Misalnya, jika orangtua sering menyebut anaknya “bodoh” atau “nakal”, maka sebutan tersebut akan tercitra dalam dirinya sehingga anak akan merasa dirinya bodoh atau nakal. Pada akhirnya, anak tidak akan berusaha untuk belajar dengan baik apalagi mencapai prestasi, atau memperbaiki dirinya agar dapat diterima lingkungannya.

Oleh karena itu jika orang tua sudah 'terlanjur' memiliki konsep diri yang negatif, Yelia menyarankan, agar orangtua menyadari kondisi dirinya dan berusaha menciptakan atmosfer yang kondusif bagi perkembangan anaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan evaluasi dan penilaian yang bersifat positif terhadap anak. “Sebagai suatu proses, memang tidak mudah mengubah konsep diri yang sudah terbentuk. Namun tidak ada salahnya orangtua berusaha menggali berbagai potensi yang dimiliki, mengubah sikap pesimis menjadi optimis, serta bersikap lebih terbuka terhadap penilaian dari orang lain yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki diri,” kata Yelia menerangkan.

Tips Membangun Konsep Diri Positif pada Anak
Proses-proses psikologis dan interaksi dalam keluarga, merupakan hal penting dalam perkembangan konsep diri anak. Sayangnya, kebanyakan orangtua tidak menyadari bahwa perkataan dan sikapnya mempunyai dampak yang besar terhadap cara pandang anak terhadap dirinya. Simak tips berikut sebagai panduan untuk membentuk konsep diri yang positif pada diri anak.
* Sediakan waktu untuk anak. Salah satu bagian terpenting dari konsep diri yang positif adalah perasaan dicintai dan dihargai. “Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan bahwa Anda mencintai si kecil adalah dengan menghabiskan waktu bersamanya,” Millie menjelaskan. Anda bisa mengajaknya makan siang bersama, berjalan-jalan sore bersama Si Doggie, bermain bersama, menonton TV, atau kegiatan apa saja yang bisa dinikmati bersama. Selama bersama si kecil, hindari mengkritik dan menggurui anak apalagi membanding-bandingkannya dengan anak lain. Sebaliknya Anda dapat membicarakan hal-hal positif yang menjadi kelebihannya.
* Komunikasi yang terbuka. Komunikasi yang terbuka dengan anak adalah salah satu cara yang bisa Anda gunakan untuk menunjukkan bahwa anak dicintai dan dihargai. Berusahalah untuk selalu mendengarkan si kecil dengan seksama dan perhatian yang utuh dan sepenuh hati.
* Dukung potensi dan kemampuan anak. Anak perlu merasa dirinya mampu melakukan sesuatu. Untuk itu, berikan stimulasi yang dapat mengembangkan potensi anak secara optimal dalam berbagai aspek. Misalnya, dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk mencoba berbagai aktivitas dan pengalaman berbeda. Hindari memaksa anak melakukan apa yang Anda sukai, apalagi mengkritik kemampuan atau penampilannya.
* Tunjukkan ekspresi kasih sayang yang dibutuhkan oleh anak melalui pelukan, ciuman atau pujian. Hal ini akan membuat anak menghargai dirinya dan merasa dirinya layak untuk disayang.
* Menjaga keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Hindarilah pertengkaran orangtua atau orang dewasa di hadapan anak, ketika memiliki perbedaan pendapat. Anak perlu belajar bahwa setiap perbedaan pendapat harus dapat diselesaikan dengan cara yang baik, tanpa harus saling merendahkan salah satu pihak.
* Memperhatikan permasalahan yang dihadapi anak dan membantunya dengan memberikan dukungan dan bimbingan mengenai alternatif pemecahan masalah yang dapat diambil. Hal ini akan memberikan keyakinan kepada anak bahwa setiap permasalahan memiliki jalan keluar dan membuat anak belajar untuk tidak mudah menyerah.
* Pujilah anak. Biarkan si kecil mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan atau sesuatu yang dapat dibanggakan. Lakukan secara spesifik terhadap hal tertentu yang Anda anggap baik. Misalnya, daripada mengatakan, “Bagus,” lebih baik Anda mengatakan, “Semangat kamu menendang bola ke arah gawang benar-benar hebat. Mama senang melihat kamu berhasil melakukannya.” Jangan pula terpaku pada hasil, usaha anak, walaupun hasilnya kurang baik, pantas mendapatkan pujian dari Anda.
* Ajari anak bersosialisasi. Diterima oleh teman-teman sebayanya adalah hal penting dalam konsep diri anak. Oleh karena itu bekali kemampuan anak untuk bersosialisasi dengan membuka kesempatan bergaul bagi anak dengan melibatkannya dalam berbagai aktivitas atau permainan berkelompok, mengajari anak menyapa, berterima kasih, memperkenalkan diri, meminta maaf ketika salah, dan lain sebagainya. Akan lebih efektif jika Anda mengajari dengan menjadi contoh bagi anak.
* Libatkan si kecil dalam tugas rutin di rumah. Memang akan lebih mudah untuk melakukan sendiri atau menyerahkan pada pekerja rumah tangga tugas-tugas rutin di rumah daripada mempercayakannya kepada si kecil. Namun, menurut Millie, memberikan tugas rutin kepada anak, tak hanya dapat melatih kemampuannya tetapi juga dapat memberinya kesempatan untuk berkontribusi atau melakukan sesuatu bagi keluarga. Hanya saja, Anda harus memastikan bahwa tugas yang diberikan padanya, adalah tugas yang memang sesuai dengan perkembangan usia dan kemampuannya.
Apakah Anda Melakukannya?
Jika ya, Anda harus menghentikannya, karena tanpa disadari hal-hal di bawah ini justru dapat membentuk konsep diri negatif pada anak.
  • Apakah Anda sering membantu anak atau membuat keputusan bagi anak? Kebiasaan ini akan membuat anak merasa tidak kompeten untuk melakukannya sendiri?
  • Apakah Anda sering memberikan kritik terhadap aktivitas anak ataupun pencapaian prestasi anak?
  • Apakah Anda terlalu membatasi aktivitas anak? Pembatasan yang berlebihan akan membuat anak merasa terkungkung dan tidak percaya diri dalam melakukan berbagai hal.
  • Apakah Anda sering menetapkan dan memaksakan standar-standar tertentu terhadap anak yang tidak sesuai dengan kemampuan anaknya, baik standar tingkah laku maupun standard prestasi?

Rabu, 04 Desember 2013

Cara Melatih Balita Bicara


Selama lima tahun pertama kehidupan seorang anak, mereka belajar untuk berbicara dan mempelajari logat bicara yang akan mereka gunakan seumur hidup mereka. Anda dapat membantu anak Anda untuk berbicara dengan mengikuti tips-tips sederhana.
Komunikasi dan bahasa untuk bayi dimulai saat lahir. Mereka menangis untuk mengungkapkan kebutuhan mereka. Beberapa bulan kemudian mereka akan bicara bahasa bayi yang terdengar seperti “ba”. Selanjutnya muncul kemampuan mereka untuk mengatakan satu atau dua kata. Anak-anak secara alami belajar berbicara dengan mendengarkan dan meniru orang lain sehingga sangat penting untuk menjadi contoh yang baik. Sebagai bayi yang dalam proses tumbuh menjadi balita dan mulai menggunakan kata-kata maka Anda harus berhenti bicara dengan bahasa bayi dan tidak mengunakan nada bicara yang tinggi. Ada juga tidak perlu berbicara perlahan selama percakapan normal. Balita yang akan belajar dari Anda cara tepat menempatkan kalimat dan bagaimana mengucapkan kata-kata dengan benar.
Ingatlah untuk tidak mengkritik mereka jika seorang anak mengucapkan kata yang salah. Sebaliknya, ulangi kalimat dengan benar. Misalnya, jika anak Anda mengatakan, " e bis" Anda bisa mengatakan, "Ya, kue Anda sudah habis." Anda juga dapat melatih kemampuan bicara pada anak Anda dengan memperluas kalimat mereka. Coba ulangi apa yang anak Anda katakan dan menambahkan kata. Misalnya, jika anak Anda mengatakan, "cukup kucing," Anda dapat mengatakan, "Ini adalah kucing cantik dan dia bagus juga." Selain itu, ingatlah untuk benar-benar mendengarkan balita Anda. Lihatlah mereka dan benar-benar fokus pada apa yang mereka katakan. Tersenyum dan mendorong mereka untuk berbicara lebih dengan mengajukan pertanyaan yang akan memperluas kemapuan bicara mereka.
Mengajar anak Anda untuk berbicara dapat menyenangkan dengan melakukan beberapa kegiatan sederhana bersama mereka untuk mendorong mereka berbicara. Cobalah merekam suara mereka dan kemudian diputar kembali kepada mereka. Nikmati reaksi mereka ketika mereka mendengar sendiri dan mendorong mereka untuk mengatakan hal-hal yang berbeda dalam rangka untuk merekam suara mereka lagi. Anda dapat juga merekam mereka melalui video dan memungkinkan mereka untuk menonton dirinya di televisi.
Bicara juga dapat didorong melalui kegiatan sehari-hari, misalnya ketika berada di toko dan memilih susu, Anda dapat memberitahu mereka bahwa susu berasal dari sapi dan bertanya kepada mereka bagaimana suara sapi. Dorong mereka untuk mengulangi kalimat itu, "bunyi suara sapi, moo."
Ingatlah bahwa setiap anak mengembangkan bahasa dengan langkah mereka sendiri. Jangan membandingkan anak-anak untuk mencoba mencari tahu apakah mereka sudah berada di jalur yang sesuai dengan kemampuan bicara mereka. Selain itu, logat bicara setiap anak adalah unik. Dengan mendorong anak Anda untuk berbicara dan menunjukkan minat pada apa yang mereka katakan, Anda segera akan melihat bahwa anak Anda ingin berbicara lebih banyak dan lebih lagi.

http://youtu.be/ll35L1JVs28