- Cerita yang didengar anak sejak bayi akan mengaktifkan
simpul-simpul saraf di otak dan membuat otaknya lebih aktif. Ini
berhubungan dengan perkembangan kecerdasan intelekualnya
- Dongeng yang disampaikan dapat merangsang indra bayi,
terutama indra pendengaran dan penglihatannya sehingga anak terlatih
menangkap sedemikian banyak informasi
- Banyak informasi yang ditangkap akan mengoptimalkan
pertumbuhan anak. Jadi, jangan heran jika bayi yang lebih sering mendengar
cerita bisa lebih cepat tengkurap, merangkak, dan sebagainya. Itu semua
karena perkembangan otaknya lebih optimal
- Perkembangan otak yang optimal juga membuat anak lebih
cepat menangkap stimulus apa pun yang diajarkan kepadanya.
- Anak yang sering mendengarkan orangtuanya bercerita akan
tumbuh menjadi anak yang lebih peka. Kepekaan ini akan mendukung sederet
sikap positif lainnya, seperti rasa ingin tahu, percaya diri, sikap
kritis, dan kemauan bereksplorasi. Dengan kata lain, kecerdasan emosional,
spiritual, dan ketahanan mentalnya kian terasah.
- Pada umumnya, cerita lebih berkesan dari pada nasihat
murbi sehingga akan terekam lebih kuat dalam memori
- Cerita membuat otak menjadi relaks
Kamis, 30 Mei 2013
Manfaat Mendongeng
Diklat Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif
BTKP DIY Mengadakan pelatihan Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif untuk Guru-guru PAUD dan guru SLB. Pelatihan diadakan di BTKP DIY dari tanggal 30 Mei s.d 5 Juni 2013, diikuti sekitar 50 pendidik dari PAUD dan SLB se DIY. dari Lembaga Pendidikan Beniso mengirim 2 pendidik dalam pelatihan tersebut, Bunda Rindi dan Bunda Novi. Semoga ilmu yang di dapat dari Bunda Rindi dan Bunda Novi dapat diaplikasikan di Lembaga Pendidikan Beniso, aamiin.....
Rabu, 24 April 2013
RENUNGAN AKHIR PEKAN BAGI PARA ORANG TUA, GURU DAN PARA PETINGGI NEGERI BERIKUT ADALAH ISI PIDATO ERICA GOLDSON (yang baru dibahas di Talkshow Ayah pekan lalu)
“Saya lulus, Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di sekolah saya.
Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya.
Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam MELAKUKAN APA YG DIPERINTAHKAN GURU kepada saya dan juga dalam hal MENGIKUTI SISTEM YANG ADA.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini.
Saya akan pergi, di musim dingin ini dan menuju tahap rencana berikut yang akan datang kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – BUKAN SEORANG PEKERJA. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya.
Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara sangat baik.
Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai untuk selalu mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu dan tidak tahu apa gunanya kelak bagi saya.
Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi dan tujuan yg jelas, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan dan kewajiban untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, memenuhi keinginan orang lain, sekolah dan mungkin orang tua saya, bukan untuk belajar dalam arti yg sesungguhnya.
Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
“Saya lulus, Seharusnya saya
menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya
adalah lulusan terbaik di sekolah saya.
Namun, setelah direnungkan,
saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan
teman-teman saya.
Yang bisa saya katakan adalah
kalau saya memang adalah yang terbaik dalam MELAKUKAN APA YG DIPERINTAHKAN GURU
/ ORANG TUAKU kepada saya dan juga dalam hal MENGIKUTI SISTEM YANG ADA.
Di sini saya berdiri, dan
seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini.
Saya akan pergi, di musim
dingin ini dan menuju tahap rencana berikut yang akan datang kepada saya,
setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya
telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang
manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – BUKAN SEORANG PEKERJA.
Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem
yang mengurung dirinya.
Sekarang, saya telah berhasil
menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh
kepadaku secara sangat baik.
Di saat orang lain duduk
melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam
kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke
kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya
sendiri tidak pernah lalai untuk selalu mengerjakan PR saya. Saat yang lain
menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya
tidak membutuhkan itu dan tidak tahu apa gunanya kelak bagi saya.
Jadi, saya penasaran, apakah
benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya
telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya?
Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau
saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya
inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi dan tujuan yg jelas, karena
semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan dan kewajiban untuk belajar, dan
saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus,
memenuhi keinginan orang lain, sekolah dan mungkin orang tua saya, bukan untuk
belajar dalam arti yg sesungguhnya.
Dan jujur saja, sekarang saya
mulai ketakutan…….”
Jumat, 19 April 2013
3 FASE MENDIDIK ANAK
Berdasar KONSEP yang Direkomendasikan
Oleh Ali RA
Fase Ke-1
7 Tahun pertama (usa
0-7 tahun) PERLAKUAN ANAK SEPERTI RAJA. Karena fase ini adalah fase penyerapan
informasi yang sangat berguna. Di usia ini adalah waktunya dia
bersenang-senang, bermain-main. Sebagai orang tua, kita dituntut untuk tidak
merampas hak mereka. Fase ini adalah hak masa kecil mereka, hak ceria mereka,
hak bagi mereka untuk melihat semuanya indah seperti pelangi. Jangan
sekali-kali kita merampas hak mereka dengan beban-beban yang tidak bisa mereka
pikul. Disamping kita harus memberikan keceriaan dan kebahagiaan bagi mereka,
kita harus tetap mengawasi dan membimbing mereka dengan baik.
Fase Ke-2
7 tahun kedua (usia
8-14 tahun) PERLAKUAN ANAK SEPERTI TAWANAN PERANG karena fase ini adalah masa
penananman sikap dan kedsiplinan. Di fase ini kita harus menjadikan mereka
layaknya “Tentara Kecil” Kita. Kita didik mereka dengan kedisiplinan.
Berlakukan peraturan-peraturan rumah tangga pada mereka. Bimbim mereka belajar.
Ajari mereka mengenal waktu agar bisa membedakan kapan mereka harus belajar,
bermain, makan, mandi dan juga tidur. Dan yang utama ajari mereka pendidikan
agama. Bagi anak perempuan jaga auratnya, jangan sampai ia tidak faham tentang
hakikat kewanitaan. Ajari anak laki-laki kita bela diri agar keluar sisi
maskulinnya. Berikan teguran jika mereka salah. Serta hukuman yang wajar jika
mereka bandel dan nakal. Namun jangan lupa berikan pujian saat mereka patuh dan
berprestasi. Disinilah kita harus menjadi orang tua yang memberikan keteladanan
bagi mereka.
Fase Ke-3
7 tahun ketiga (usia
15-21) PERLAKUKAN ANAK SEBAGAI SAHABAT/TEMAN karena fase ini anak membutuhkan
tempat terbaik untuk menemukan dan membangun JATI DIRI.
§ Syarat utama tercapainya kerjasama yang baik antara orang tua
dan guru adalah kepercayaan
§ Guru membangun diri dengan terus belajar dan meningkatkan mutu
program sehingga orang tua bsa percaya
§ Orang tua bila sudah memilih sekolah harus percaya pada sekolah
Ketika dua fase di
atas sudah mereka lewati, mereka akan menginjak masa remaja mereka, masa puber.
Di usia inilah mereka akan Baligh (dewasa). Kita harus menjadikan diri kita
sebagai sahabat mereka. Komunikasi menjadi titik penting dari fase “friendship”
ini. Kita sudah harus menjelaskan kepada mereka tentang hakikat kehidupan. Agar
mereka bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Berbicaralah dengan
lembut. Satu tujuannya : agar kita tahu apa yang menjadi beban pikirannya,
beban hatinya, dan kita menjadi teman berbagi bagi mereka. Dan jangan sekali-kali
menjadi orang tua yang menakutkan bagi mereka. Berikan pengertian pada mereka.
Juga kebebasan, tapi tak melupakan aturan.
“Aku Ingin Menjadi Orang Yang Bertepuk Tangan di Tepi Jalan"
Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak
perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan
nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang
sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak
didengar, namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati. Suamiku
mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan
alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah
masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja.
Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang
menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di
keluarga kami tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap
kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara
televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar. Kemudian
ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang
masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku,
kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa? Anak kami
menjawab: Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian luar biasa.
Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa
sendiri.
Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama
untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik
pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing.
Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa
mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau
politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang
banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan kelak akan
menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan
mendengarnya. Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali
sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat
kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan
orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku
dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak
menyanyi, menari dan bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang
tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia
menjawab dengan besar hati: Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain
celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita
untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat
bintang-bintang. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa
tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku
akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap
akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah? Sebetulnya, kami juga telah
berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan
guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga
membelikan berbagai materi belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia
tidak membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan
di akhir minggu juga tidak dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan,
dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan
dikerjakan tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak,
tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus
dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran,
akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat
kurus banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak
tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja nomor 23.
Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan
rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak
perempuanku semakin pucat saja. Apalagi, setiap kali akan ujian, dia mulai
tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin,
terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan
suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik bibit ke atas demi membantunya
tumbuh ini. Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami
mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan
majalah “Humor anak-anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram
kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak
mengerti akan nilai sekolahnya.
Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama.
Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta
suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan
guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek.
Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan kembali
kotak makanan yang terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol yang longgar
atau mengelap jus sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang
pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang
anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa
Inggeris. Kedua anak ini secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan di
atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau
membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali
tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya.
Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana
yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.
Ketika pulang, jalanan macat dan anak-anak mulai terlihat
gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan membuat orang-orang semobil tertawa
tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak
bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus
memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan
guntingan kertas hewan shio masing-masing. Ketika mendengar anak-anak terus
berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.
Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas
anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap
kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak
diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama 30 tahun mengajar.
Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang
paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya
menuliskan nama anakku.
Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang, sangat
memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak
ditulis adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar
dia dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi pujian: Anak anda ini, walau nilai
sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang,
benar-benar nomor satu.
Saya berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku
yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir
sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan
sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di
tepi jalan.” Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi pahlawan,
aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut
mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.
Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah
muda dipilinnya bolak balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di
tangannya mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat seketika. Pada ketika
itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini.
Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan,
namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam
kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam
hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati
dan jujur.
Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang isteri
yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman
kerja yang suka membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia mendapatkan
ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa
senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain
dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di
belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?
Sebuah
kisah kiriman sahabat.
MANDIRI DENGAN LEADERSHIP DAN ENTREPRENEURSHIP
Untuk
membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dimasa yang akan datang,
pendidikan karakter harus mulai diterapkan kepada anak sejak dini. Terutama
karakter yang berkaitan erat dengan kecakapan, ketrampilan dan akhlak mulia.
Karena itu RA, KB dan TAA Beniso sejak dini sudah menanamkan mental
Kepemimpinan ( Leadership) dan jiwa wirausaha (Entrepreneurship) kepada
murid-murid sebagai bekal kehidupan mereka kelak jika sudah dewasa.
Untuk memupuk
jiwa wirausaha, di RA dan KB Beniso anak – anak dilatih cara berdagang yang
dikemas dalam bentuk Sentra main peran juga seni kreatifitas. Kegiatan ini
tidak hanya sekedar melatih murid untuk berdagang, namun juga menumbuhkan pola
pikir analisis siswa. Apa yang laku jual dan seandainya dagangan mereka tidak
laku apa yang harus mereka perbuat. Sehingga anak sudah dilatih agar bisa
dipercaya dan siap menanggung konsekuensi baik dan buruk dengan apa yang mereka
lakukan. Saat pembelajaran , semua pelaksanaan dari kegiatan awal sampai
kegiatan akhir, dipandu langsung oleh anak-anak, ini menumbuhkan jiwa
leadership pada anak-anak. Para bunda sebagai fasilitator dan pendamping
anak-anak.
Untuk bisa mewujudkan anak-anak yang mandiri dengan leadership dan entrepreneurship maka dibutuhkan kerjasama sekolah dan orang tua. Karena waktu anak-anak lebih banyak dengan orang tua daripada di sekolah dan pembelajaran sekolah dan orang tua harus senada.
![]() |
Kamis, 21 Maret 2013
Langganan:
Postingan (Atom)